BERITA | Public Pembaharuan: (2 tahun yang lalu) | dibaca: 496 kali
Sebagai bangsa yang telah berkomitmen untuk menjadikan Tanah Merdeka ini sebagai Lumbung Pangan Dunia, sekaligus kado ulang tahun 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia kepada Ibu Pertiwi, tentu salah satu upaya nya adalah menggenjot produksi pangan setinggi-tingginya menuju swasembada. Hal ini penting jadi perenungan bersama, karena terdengar cukup menggelikan, jika dibalik hasrat menjadi Lumbung Pangan Dunia 2045, ternyata Indonesia masih harus melakukan impor pangan.
Menggenjot produksi pangan saat ini merupakan kebutuhan yang mendesak untuk digarap secara serius. Pasalnya, tentu bukan hanya diarahkan untuk melestarikan swasembada beras yang belum lama kita raih, namun adanya "peringatan" FAO terkait dengan krisis pangan global pun, kini telah mempertontonkan sinyal yang mengkhawatirkan. Masalahnya menjadi semakin menjelimet, manakala diketahui, cadangan beras Pemerintah sekarang dikabarkan makin menipis.
Bagi bangsa ini beras telah ditetapkan sebagai komoditas politis dan strategis. Dengan posisi nya yang demikian, beras harus selalu tersedia sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau daya beli rakyat. Oleh karena itu, jika saat ini terdengar adanya suara sumbang tentang cadangan beras Pemerintah, maka menjadi tugas kita bersama untuk mencarikan solusi cerdasnya.
Impor sendiri, memang tidak diharamkan untuk ditempuh. Hanya, betapa malu hati bangsa ini, kalau baru saja kita memproklamirkan swasembada beras, tiga bulan kemudian, bangsa kita lagi-lagi melakukan impor beras. Mau dikemakan wajah bangsa ini, jika kita harus menerapkan kembali impor beras.
Padahal, indikator utama yang dijadikan ukuran pemberi penghargaan swasembada beras kepada kita, karena selama 3 tahun berturut-turut, Indonesia tidak melaksanakan impor beras, karena produksi padi para petani di dalam negeri, mampu mencukupi kebutuhan masyarakat.
Impor beras sendiri, memang tidak diharamkan. UU Pangan membolehkan kita melakukan impor beras, sekiranya produksi dalam negeri dan cadangan beras yang dimiliki, tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan masyarakat. Yang jadi masalah adalah apakah sebuah negeri yang baru saja memproklamirkan swasembada beras, kini harus melakukan impor beras, karena cadangan beras Pemerintah yang dimiliki sudah mulai menipis ? Hal inilah yang butuh pendalaman lebih lanjut.
Terkait dengan upaya menggenjot produksi beras, sebetulnya bangsa ini sudah sangat berpengalaman. Yang masih perlu pembelajaran lebih lanjut adalah bagaimana kemampuan kita untuk mengelola produksi yang dihasilkannya itu betul-betul efektif dan efesien. Pemerintah ada baiknya mulai mencari terobosam cerdas agar produksi yang dihasilkan itu, mampu kita jaga dan kita pelihara sebaik mungkin. Produksi yang melimpah, sebaiknya dikelola dengan baik.
Beras yang diproduksi, tentu bukan varietas yang asal-asalan, tapi kita butuh varietas yang layak untuk dikonsumsi masyarakat sekaligus cocok diekspor. Kita sudah harus mulai melakukan penanaman padi berkualitas ekspor. Artinya, keberadaan Perum Bulog dalam melakukan pengadaan beras, tidak boleh lagi asal beli beras, namun wajib untuk membeli beras petani sesusi dengan standar dan spesifikasi yang pantas untuk diekspor.
Tinggal sekarang bagaimana kesungguhan kita untuk menyiapkan para petani agar dapat menanam varietas padi yang layak untuk ekspor. Keinginan ini, tentu saja tidak gampang untuk diwujudkan. Tapi, demi kepentingan para petani itu sendiri, kini sudah waktunya pengelolaan usahatani padi digarap melalui pola dan pendekatan agribisnis. Kita dituntut untuk dapat melahirkan petani pengusaha dan bukan lagi cuma sekedar membiarkan menjadi petani subsisten.
Beberapa waktu belakangan ini, tampak produksi padi menghadapi tekanan dari berbagai macam faktor. Mulai dari kurang efektipnya tiga serangkai (peneliti-penyuluh-petani) dalam mengelola usahatani padi hingga ke masalah iklim ekstrim yang sukar diprediksi kapan akan menyergap petani di lapangan. Sekarang ini, sudah susah dibedakan mana musim hujan dan mana musim kemarau. Belum lagi adanya serangan hama dan penyakit tanaman yang setiap saat dapat mengganggu usahatani padi di lapangan.
Dihadapkan pada kondisi yang demikian, lumrah jika banyak kalangan yang merisaukan cadangan beras yang dikelola Pemerintah. Problemnya menjadi semakin menarik untuk dicermati setelah ada analisis dari pejabat Badan Pangan Nasional yang menegaskan cadangan beras pemerintah bulan Nopember 2022 terekam semakin menipis. Bahkan ada juga petinggi BUMN yang mengusulkan agar Pemerintah secepatnya melakukan impor beras. Kalau sampai impor beras, bagaimana nasib swasembada beras yang kita proklamirkan itu ?
Swasembada Beras yang kita raih, salah satu ukuran penilaian yang digunakan International Research Rice Institute (IRRI) bersama FAO adalah tidak adanya lagi impor beras yang bersifat komersil. Sedangkan impor beras untuk kesehatan dan industri makanan masih diperkenankan. Artinya, bila kita mampu menutup kran impor, maka produksi padi yang dihasilkan para petani di dalam negeri, benar-benar mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Semua ini terwujud, salah satu penentunya karena adanya kiprah para petani.
Prestasi swasembada beras, baik tahun 1984 atau pun 2022, pada dasarnya ditentukan oleh kerja keras para petani. Mereka betul-betul mampu memberi karya terbaik bagi citra bangsa Indonesia di panggung internasional. Walau, petani tidak mengharapkan adanya balas jasa atas apa-apa yang mereka lakukan, namun tidak ada salahnya bila kita memberi penghormatan terhadap kiprah hidupnya. Petani sangat pantas untuk disebut sebagai pahlawan pangan.
Menggenjot produksi beras agar menghasilkan produksi yang cukup tinggi, memang memerlukan sinergitas dan kolaborasi dari berbagai pihak. Para petani sangat membutuhkan proses pembelajaran yang terus menerus dari para Penyuluh Pertanian. Dengan kemajuan dan teknologi informasi yang sangat cepat dan serba digital, para Penyuluh Pertanian dapat merubah metode Penyuluhan Pertanian dengan kondisi yang tengah tercipta saat ini.
Begitu pula dengan para Penyuluh Pertanian. Mereka sangat memerlukan hasil kerja terkini para peneliti, pengkaji dan pemulia tanaman. Penyuluh butuh inovasi dan teknologi baru dalam upaya menggenjot produksi hingga optimal. Itu sebabnya, komunikasi yang inten antara peneliti dan Penyuluh penting untuk selalu dilakukan. Kebersamaan Peneliti dan Penyuluh yang berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan produksi petani ke arah yang lebih optimal.
Menyikapi suasana yang tengah kita hadapi sekarang, langkah menggenjot produksi padi setinggi-tingginya merupakan kebijakan yang sebaiknya dijadikan prioritas dalam pembangunan pertanian. Kita jangan terlalu banyak berteori. Kita butuh program nyata untuk menjawab masalah. Ayo kita buktikan, bangsa ini mampu menggenjot produksi padi, guna lestarinya swasembada beras.
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).
Editor: demo2 Published: Tuesday, 13 December 2022
You're in the right place! Just drop us your cv. How can we help?