ARTICLE IN DETAILS

ARTIKEL | Public
Pembaharuan: (1 bulan yang lalu) | dibaca: 36 kali

fotokonten20250819images.jpg

Jam Delapan Malam Dulu Kita Guru, Kini Kita Pasar

oleh Agus Somamihardja

Dulu, Raja Thailand pernah datang ke Hindia Belanda hanya untuk belajar bertani. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20, Raja Rama V (Chulalongkorn) mengirim putra-putranya belajar ke Bogor untuk menimba ilmu pertanian dari Landbouw School yang kemudian berkembang menjadi IPB (van der Eng, 1996). Saat itu, Hindia Belanda dipandang sebagai pusat pengetahuan agronomi tropis.


Kebun teh di Priangan harum sampai ke Eropa. Nama Preanger Tea tercatat di lelang-lelang internasional, menjadi salah satu komoditas unggulan yang melambungkan citra agrikultur Nusantara.


Begitu juga gula dari Jawa. Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, industri gula tebu Jawa pernah menjadi yang paling efisien di dunia, menyumbang lebih dari 25% perdagangan gula global (Boomgaard, 2013).


Pertanyaan yang muncul kini: mengapa pada masa itu bangsa lain rela duduk di bangku murid, sementara kita menjadi tuan rumah pengetahuan? Bagaimana bisa posisi yang dulu begitu kuat kini tergeser, hingga kita justru bergantung pada impor pangan pokok?


Kini, semuanya terasa berbalik. Teh kita pahit nasibnya. Gula kita tak lagi manis di negeri sendiri. Bahkan hasil bumi dari negeri yang dulu belajar kepada kita, kini membanjiri pasar-pasar kita.


Apakah ini sekadar perubahan zaman, atau tanda kita telah kehilangan arah? Kita suka menyebut kemerdekaan sebagai titik balik. Tapi mungkin dalam euforia membangun bangsa, kita terlalu cepat memutus semua yang dianggap bau kolonial.


Sayangnya, dalam semangat itu, kita tak memilah mana warisan yang menindas dan mana yang mencerdaskan. Balai-balai penelitian ditinggalkan begitu saja.


Perpustakaan pertanian yang menyimpan ilmu puluhan tahun ditutup atau dibakar perlahan oleh ketidaktahuan.


Para pemimpin kita dulu mungkin bukan pendendam. Barangkali mereka hanya lupa bahwa kedaulatan bukan berarti membangun semua dari nol. Melanjutkan yang baik bisa tetap dengan hati dan akal yang merdeka.


Namun, semua itu ditinggalkan begitu saja. Kita tergoda dengan bujukan “Revolusi Hijau” yang dipromosikan dari negeri-negeri jauh. Padi varietas baru, pupuk kimia, dan pestisida dijual sebagai jalan pintas menuju kemakmuran.


Hasilnya pahit: tanah menjadi lelah, kesuburan terkikis, dan petani yang dulu berdaulat justru berubah menjadi buruh di tanah sendiri. Lebih tragis lagi, negeri yang dulu menjadi guru agronomi tropis kini jatuh sebagai pasar bagi korporasi pangan global.


Kita pun dikunci dengan iming-iming alih teknologi dan pengetahuan. Generasi muda terbaik kita diundang belajar dengan janji membawa pulang “ilmu modern”.


Namun kenyataannya, banyak dari mereka pulang bukan sebagai pembebas rakyat. Mungkin hanya karena tidak waspada. maka bukan hanya ilmu yang dibawa, bahkan bahan pangan luar pun dipaketkan menjadi makanan pokok kita.


Tanpa sadar beberapa menjadi tangan kanan kapitalis di negeri sendiri. Menjadi perpanjangan lidah dan tangan perusahaan multinasional yang didukung penuh pemerintah mereka.


Thailand memilih jalannya sendiri. Rajanya menanam dan menjadi panutan. Di sini, petani dibiarkan menunggu musim hujan, benih dan harga pupuk yang semakin mahal. Di sana, pertanian jadi proyek kebangsaan. Di sini,menjadi proyek subsidi dan politik anggaran.


Belanda memang menjajah kita dahulu. Tapi dalam beberapa hal, mereka lebih menghormati tanah ini daripada kita yang mewarisinya. Mereka membangun riset dan sistem.


Kita mewarisinya tanpa narasi. Lalu menggantinya dengan proyek proyek jangka pendek.


Bangsa ini tidak kekurangan tanah. Juga bukan juga kekurangan tangan terampil. Kita hanya kehilangan arah. Kita pernah jadi guru. Kini kita hanya jadi pasar.


Namun kita tidak perlu marah. Kita harus merenung dan introspeksi.


Kini saat terbaik kembali menengok tanah yang terlalu lama kita diamkan. Tanah yang merindukan sentuhan anak bangsa. Sentuhan pemimpin dan petani sejati dan bangsa yang tahu bagaimana cara merawat warisannya.


Bukan hanya bisa rame rame merayakan kemerdekaan sekali setiap tahun.


Sumber https://agussomamihardja.id

end of article

Editor: admin111
Published: Tuesday, 19 August 2025


1 komentar
userpublic Thu, 21 Aug 2025 17:01:36 1 bulan yang lalu

Pak Agus Soma Mihardja Yang Dirahmati Allah SWT. Mohon izin ya tulisannya kami posting di Website Genksi, Alumni IPB 14/77

Komentar

Recent News
General Apply

You're in the right place! Just drop us your cv. How can we help?

Validation error occured. Please enter the fields and submit it again.
Thank You ! Your email has been delivered.