ARTICLE IN DETAILS

ARTIKEL | Krenova
Pembaharuan: (3 tahun yang lalu) | dibaca: 300 kali

fotokonten20220603Capture6.JPG

Budidaya Buah Di Lahan Marginal

Krenova

KRENOVA GENKSI-14 DALAM BUDIDAYA BUAH DI LAHAN MARGINAL

 

PENDAHULUAN

Bermula ada keinginan untuk memanfaatkan lahan kering tanpa irigasi, lerengnya curam tanahnya banyak mengandung cadas serta solum tipis.   Selama ini ditanami palawija, seperti singkong atau ubi dan kadang budidaya melon ataupun semangka di saat awal musim hujan.  Bagaimana  supaya lahan ini lebih menguntungkan secara ekonomi dan lebih berdaya guna bagi usaha.

Untuk itu “Bertani Dengan Hati” perlu dilakukan, salah satunya adalah budidaya tanaman yang adaptif, produktif dan berdaya ungkit untuk pengembangan ekonomi pada suatu kawasan.  Bertani dengan Hati, artinya bertani dengan kegiatan memilih dan memilah jenis tanaman yang baik dan sesuai untuk didayagunakan dengan agroklimat setempat serta memperlakukan lahan dan lingkungan secara harmoni. 

Bertani Dengan Hati perlu unit teknologi yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh petani di lahan marginal, untuk itu perlu kreasi dan inovasi teknologi, yang saya sebut krenova teknologi. Salah satu bentuk krenova teknologi adalah memilih jenis tanaman yang sesuai di lahan marginal dengan input yang minimal hasilnya maksimal.  

Maka perlu dicari jenis tanaman yang bisa tahan cekaman iklim dan sebagai konservasi lahan  serta  memberi nilai ekonomi yang baik dan  tanaman tahunan supaya  lebih mudah dalam budidayanya. Cepat berproduksi dan hasilnya diminati pasar karena kualitas dan juga ada manfaatnya, mudah dibudidayakan dengan teknologi yang sederhana. Sudah di-amati dengan seksama bahwa tanaman tersebut adalah buah naga (Hylocereus sp.) ada yang menyebut dragon fruit, pitaya atau pitahaya. 

Persyaratan jenis tanaman di atas bagi yang nyaris sempurna buat buah naga tersebut, ternyata membawa konsekuensi nyata , bahwa sebelum budidaya harus pahami karakter tanaman dan jadikan pedoman dalam bentuk SOP yang berkaitan dengan jenis lahan dan lokasi tempat budidayanya. Keinginan sederhana Penulis jadi tambah menarik bila ada “Penelitian kecil” yang berkaitan dengan bidang Ilmu tanah dan Agronomi dengan dukungan Klimatologi dan Ilmu Hama Penyakit , yang nanti dalam pemasaran hasil akan gunakan Ilmu Sosial Ekonomi, lengkap sudah ramuan dari Fakultas Pertanian. Bertani tidak cukup dengan satu cabang ilmu pengetahuan saja. 

Lahan marginal ada beberapa, antara lain lahan kering : berpasir , Karst dan Disposal tambang dan lahan marginal basah : Gambut.  Dari budidaya di lahan marginal cadas kering, maka ada keinginan untuk ke lahan marginal lainnya , yaitu di Karst, Disposal tambang dan Gambut. Semuanya menarik untuk dipelajari dan berdampak luar biasa. 

Karena tertarik dengan aneka rupa lahan marginal, maka Penulis sempat belajar  bertani di Lembah Yordania ( Jordan Valley) pada 2012 ,  lokasinya ada di minus (-) 400 M dpl (dari permukaan laut) dimana tanah dan airnya semuanya asin. Semiskin  tanah di Indonesia akan masih lebih miskin tanah di Lembah Yordania, jadi sangat beruntung bertani di manapun pelosok Indonesia.  Yordania yang awal tahun 2.000 an masih impor sayuran, buah dan pangan lainnya. Maka sepuluh tahun kemudian dengan diketemukan cara bertani di lahan super marginal nya, kemudian menjadi negara pengekspor hortikultura buah dan sayuran. 

Dalam upaya menyemangati wirausaha pemula, supaya mau bertani dengan model “Bertani dengan Hati” dalam pengembangan berani mulai dan tidak ragu ragu perlu mantra, yaitu: Niat - Tekad - Nekat ini filosofis supaya jangan ragu-ragu memulai dan kalau sudah mulai jangan ragu-ragu untuk maju. Dalam filosofis Jawa:  Yen wani aja wedi wedi, Yen wedi aja wani wani.  Kalau berani jangan takut-takut, kalau takut ya jangan berani berani. harus berani sekuat mampu-nya maka akan ada hasil: Jebret, Jebret, Jebret.  Mari Bertani dengan Hati.


 

Tanaman Buah Naga

Asal Mula Tanaman Buah Naga


Buah naga (Hylocereus sp.)  yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai dragon fruit atau Pitaya/Pitahaya itu mulai populer di Indonesia sejak tahun 2000 awal dan belum banyak yang membudidayakannya. Tanaman ini berasal dari Mexico atau sekitar Panama dan Guyana Amerika Latin tumbuh liar di gurun atau padang tandus.

 

Buah naga termasuk tanaman kaktus, dan banyak jenis dan ragamnya. Tanaman kaktus banyak yang bisa dimakan buahnya dan ada juga yang tidak enak untuk dimakan. 
Menurut (Casas & Barbera, 2002) buah naga dengan jenis Hylocereus undatus (buah naga berdaging putih) pertama kali masuk ke Asia Tenggara dibawa oleh negara Filipina sekitar tahun 1600-an menjadikannya komoditas penting. Negara di Asia sebagai penghasil utama buah naga antara lain Thailand, Vietnam, dan Malaysia (Jaya, 2010). Menurut Nerd et al., (2002) buah naga juga dikembangkan dibeberapa kawasan, antara lain Amerika (Florida dan California), Bahamas, Israel, Australia, China, Kamboja, India, dan Indonesia.

Pada kawasan Asia, dikenal 2 jenis buah naga berkulit merah, yakni buah naga yang berdaging putih (Hylocereus undatus) dan berdaging merah (Hylocereus polyrhizus). Sedangkan yang kulit kuning atau orange (Celenicereus megalantus) berdaging putih atau berdaging merah itu lebih banyak dibudidayakan di Amerika latin.

Negara yang banyak membudidayakan buah naga di Asia adalah negara Vietnam, Thailand, Taiwan, Israel, Malaysia dan Indonesia baru-baru saja memulai. Luas lahan produksi buah naga di Indonesia belum ada data, sedangkan (Lap & Chau, 2014) memaparkan tahun 2013 total produksi budidaya buah naga di Vietnam mencapai 585.000 ton dengan total kawasan mencapai 28.500 ton.

Pembungaan dan produksi buah naga (Hylocereus sp.) dibelahan bumi bagian selatan seperti di Yogyakarta pada bulan Oktober – Mei, dan di bagian Australia (New South Wales) pada bulan Februari-April (Luders & Mahon, 2006). Liu et al., (2015) mengungkapkan pada wilayah bagian utara seperti di Taiwan, buah naga mulai berbunga dan berproduksi terjadi pada awal bulan April-Desember, sementara di Vietnam terjadi pada bulan April-Oktober (Lap & Chau, 2014). Menurut Nerd et al., (2002) wilayah bagian utara dari garis khatulistiwa mulai berbunga dan berproduksi pada Mei sampai Oktober. Fakta dilapangan bahwa buah naga yang ditanam disekitar garis khatulistiwa akan bisa berbuah sepanjang tahun, hal ini terlihat di Pontianak, Sumatra Barat dan Kepulauan Riau.

Karakter Buah naga

Beberapa karakter tanaman buah naga yang menjadikan bisa tumbuh baik di lahan marginal dan menghasilkan bunga dan produksi, yaitu:

A.    Tanaman Berakar Epifit:

Buah naga merupakan tanaman yang punya akar epifit yang berfungsi untuk memanjat dan juga kemungkinan fiksasi nitrogen. Tanaman epifit berbeda dengan parasit. Tanaman buah naga sebagai tanaman epifit mampu berdiri sendiri, sebagai penyedia unsur hara bagi dirinya maupun unsur hara yang tersedia dari tanaman lain, dan mampu menjadikan tiang sebagai penyangga (bukan tanah). Sumber air dapat dimanfaatkan dari air hujan, uap air ataupun embun. Tanaman epifit mendapatkan unsur hara dari hasil dekomposisi seresah/batang/sisa-sisa tumbuhan. Sifat akar tanaman epifit menyebar di permukaan.

B.     Tanaman Gravitasi / Gravitropisme:

Buah naga bisa disebut tanaman gravitasi, yaitu sulur tanaman akan bisa menghasilkan bunga dan buah, bila sulur sudah menjuntai ke bawah mengarah ke bumi. Maka dari itu buah naga perlu tiang panjatan supaya sulurnya menjuntai ke bawah dan tanaman bisa berbuah.

C.     Tanaman Hari Panjang:

Proses pembungaan pada tanaman buah naga yaitu perubahan primodia batang tanaman pada duri tanaman pecah menjadi calon bunga perlu pencahayaan lebih dari 14 jam dalam periode jumlah hari tertentu. Maka dari itu tanaman buah naga memungkinkan untuk distimulus dengan penambahan pencahayaan lampu supaya berbunga disaat tidak musim berbunga.

Tanaman Pioner

A.    Tanaman mudah tumbuh di lahan marginal yang unsur hara terbatas (minimal)

B.     Tanaman cepat sekali berbuah, setahun sudah bisa menghasilkan dan umur produktif tanaman bisa 25 tahun.

C.     Buahnya banyak berkhasiat untuk kesehatan

D.    Harga jualnya relatif stabil dan relatif mahal

E.     Secara karakter tanaman dan teknis budidayanya mudah dilaksanakan walau di lahan marginal.

Pengalaman budidaya buah naga di lahan marginal, menjadikan bisa berkontribusi untuk peningkatan pangan dan juga bisa memberikan wawasan bertani banyak orang.

Pelepasan Varietas Buah Naga

Pemilihan jenis tanaman yang sudah tepat untuk pengembangan di lahan marginal, yaitu dengan tanaman buah naga (Hylocereus sp.)  yang pada tahun 2008 secara legalitas  didaftarkan di  Kantor Pendaftaran Varietas Tanaman (PVT) Departemen Pertanian. Setelah melalui pengujian dan sidang oleh para ahli tanaman yang mewakili Menteri Pertanian, maka pada tahun 2010 kami mendapatkan SK dari Menteri Pertanian, bahwa:

A.      Keputusan Menteri Pertanian, Nomor 2103/Kpts/SR.120/5/2010 tentang Pelepasan Buah Naga Sabila Putih sebagai Varietas Unggul

B.       Keputusan Menteri Pertanian, Nomor 2105/Kpts/SR.120/5/2010 tentang Pelepasan Buah Naga Sabila Merah sebagai Varietas Unggul

Untuk memperkuat legalitas terhadap ke dua varietas tersebut, maka kami mintakan Label Biru pada Benih Sebar, untuk Benih Bersertifikat dari BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian).

Kebun Produksi lahan marginal juga sudah ter-regristasi secara G.A.P (Good Agriculture Practices) setiap 2 tahun sekali, dan ruang kemas (packing house) juga sudah terregistrasi dan disertifikasi. Maka dari benih tanaman, kebun dan ruang kemas semuanya sudah legal dan terregistrasi.

Prospek Buah naga

Kondisi kekurangan produksi, maka Indonesia masih banyak impor buah naga dari Vietnam dan Malaysia. Hal ini sebetulnya bisa dikurangi importasenya bila areal produksi ditambah dan kualitas produksinya ditingkatkan. Hal ini tidak sulit untuk dilaksanakan, bila para pihak dan pemangku kepentingan mau memahami tentang budidaya buah naga dengan baik dan benar dan ada semangat untuk swasembada buah naga.


 

Bab 1: Lahan Marginal

1.1 Definisi Lahan Marginal

Pembeda utama dalam mengkategorikan lahan sebagai marginal atau non-marginal adalah dari kualitas tanah yang ada di lahan tersebut berdasarkan indikator sifat intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Yuwono (2009), sifat intrisik pada tanah meliputi struktur tanah (butiran, halus, sedang, dan kasar), permeabilitas (kemampuan tanah menyerap air), bahan organik (bahan yang berasal dari sisa makhluk hidup yang sudah mengalami dekomposisi), pH tanah, dan jeluk mempan perakaran (kedalaman tanah dimana akar dapat menjangkau dengan baik). Sedangkan untuk sifat ekstrinsik pada tanah meliputi faktor lingkungan dimana lahan tersebut berada, seperti curah hujan, erosi, kemiringan lahan, pengolahan lahan, dan kebatuan di permukaan.

Secara garis besar, lahan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu lahan subur (non-marginal) dan lahan marginal. Menurut Sutedjo (2002), lahan non-marginal diartikan sebagai lahan yang memiliki tanah yang subur dengan ketercukupan unsur hara bagi tanaman dan tidak memiliki faktor pembatas di dalam tanah yang akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Yuwono (2009) menambahkan, lahan subur dapat diartikan sebagai lahan yang bermutu tinggi karena lahan tersebut memiliki kandungan yang sesuai dengan indikator kesuburan tanah.

Sedangkan untuk lahan marginal, Yuwono (2009) dalam jurnal yang berjudul Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal mendefinisikannya sebagai lahan yang memiliki faktor-faktor pembatas tertentu dikarenakan tanah tersebut memiliki mutu rendah. Marginal juga dapat dikaitkan dengan kualitas yang mendekati batas kualifikasi yang rendah untuk dapat difungsikan dengan baik. Erwanto dan Sudaryono (2016) menambahkan, bahwa lahan marginal juga dapat dipengaruhi oleh degradasi tanah. Dengan berkurang atau hilangnya potensi kegunaan tanah dan rusaknya kemampuan tanah, maka lahan tersebut mengalami degradasi. Dalam jurnal Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Kawasan Pesisir, Gunadi (2002) menyimpulkan bahwa karakteristik dari lahan marginal adalah dengan memiliki satu atau lebih unsur keterbatasan. Untuk selanjutnya, dalam buku ini lahan marginal dapat didefinisikan sebagai lahan dengan mutu yang rendah karena lahan tersebut mempunyai faktor pembatas, sehingga tidak dapat ditanamani tanaman tertentu.

1.2 Karakter Lahan Marginal

Dalam jurnal Marginal Lands: Concept, Assessment, and Management (2013), Kang dkk. menyebutkan ada tiga kategori yang dipakai untuk membedakan tanah marginal berdasarkan latar belakang dan hal yang perlu diperhatikan. Ketiganya adalah fisik marginal, produksi marginal, dan ekonomi marginal. Erwanto dan Sudaryono (2016) dan Jupri (2012) menambahkan hidrologi kritis kedalam kategori tersebut berdasarkan karakteristik kekritisan lahan. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa jenis kekritisan lahan dilihat dari faktor penghambatnya adalah:

A.    Lahan Kritis Fisik

Kondisi lahan yang mengalami kerusakan secara fisik, dengan ciri-ciri lahan yang menyisakan batuan induk sebagai lapisan permukaannya sebagai hasil dari letusan gunung, banjir bandang, atau bencana lainnya (Jupri, 2012). Sehingga tanaman/vegetasi sulit tumbuh pada lahan tersebut (Ernawanto & Sudaryono, 2016). Untuk mengusahakan berbudidaya di lahan tersebut, dibutuhkan investasi yang cukup besar.

B.     Lahan Kritis Produksi

Kondisi lahan yang dinilai dari tingkat kesuburan menunjukkan penurunan tingkat produksi atau memiliki tingkat produktivitas yang rendah (Ernawanto & Sudaryono, 2016). Jupri (2012) mengkategorikan lahan kritis produksi sebagai lahan kritis kimiawi, dengan ciri-ciri lahan tidak memberikan dukungan positif untuk usaha pertanian dilihat dari tingkat kesuburan, salinitas, dan toksinitasnya.

 

C.     Lahan Kritis Ekonomi

Sama seperti lahan kritis produksi, lahan kritis ekonomi juga mengalami penurunan dalam tingkat kesuburan lahan. Penurunan tersebut berdampak kepada ekonomi pelaku pertanian (Ernawanto & Sudaryono, 2016). Dari sisi lain, Jupri (2012) mengatakan bahwa lahan kritis sosial ekonomi bukan berdasar pada tingkat kesuburan lahan, melainkan menurunnya kemampuan pelaku pertanian dalam mendayagunakan lahan. Ciri-ciri lahan kritis sosial ekonomi adalah masih adanya tingkat kesuburan tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian, namun pelaku pertanian memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah sehingga lahan tersebut ditelantarkan.

D.    Lahan Kritis Hidrologi

Kondisi lahan sebagai media perlindungan alam lingkungan sekitar mengalami penurunan fungsi dan ketidakmampuannya lagi befungsi sebagai penyalur tata air (Ernawanto & Sudaryono, 2016). Hal ini diakibatkan oleh terganggunya fungsi daya penghisap, penahan, dan penyimpan air. Sebagian besar tumbuhan tidak mampu untuk tumbuh dan berkembang di atas lahan tersebut sehingga menandakan adanya kekritisan lahan secara hidrologis (Jupri, 2012).

Pengelompokkan lahan berdasarkan karakteristik lahan memfokuskan pada aspek biofisik lahan, melihat kesamaan karakteristik dari unsur-unsur penyusunnya (Tufaila, Alam, & Leomo, 2014) Menurut Hardjowigeno dan Widjatmaka (2007), karakteristik lahan marginal dapat diartikan secara kuantitatif memiliki kesamaan kesatuan dari unsur-unsur lahan marginal, terdiri dari:

A.    Ikim (keadaan cuaca secara umum pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu)

B.     Hidrologi (pergerakan, distribusi, dan kualitas air)

C.     Geologi (pembentukkan batuan)

D.    Tanah (susunan mineral dan bahan organik)

E.     Topografi (keadaan permukaan suatu tempat atau daerah)

F.     Fisiografi (segi fisik suatu tempat atau daerah)

G.    Tutupan tanah (kondisi kenampakan biofisik permukaan bumi)

Berdasarkan karakteristiknya, secara garis besar lahan marginal terdiri dari empat jenis lahan:

A.    Lahan kering

B.     Lahan karst

C.     Lahan gambut

D.    Lahan disposal tambang

Secara mendetil akan dijelaskan pada bab selanjutnya.

1.3 Potensi dan Pemanfaatan Lahan Marginal

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk memanfaatkan lahan marginal menjadi lahan pertanian yang produktif (Ernawanto & Sudaryono, 2016). Salah satu poin terpenting adalah mengkonservasikan air dan merehabilitasi lahan. Upaya-upaya tersebut adalah:

 

 

A.    Usahatani konservasi

Konservasi lahan adalah pengusahaan pertanian untuk mencegah erosi, mencegah dan memperbaiki kerusakan lahan, dan membuat keputusan mengenai tindakan-tindakan penggunaan lahan berkelanjutan dalam waktu yang tak terbatas. Perlakuan yang diberikan terhadap suatu lahan akan mempengaruhi keadaan tata air di lahan tersebut (Astuti & Suryoatmojo, 2002).

B.     Tata ruang sistem usahatani konservasi

Pengoptimalan dalam pengelolaan sumberdaya lahan dapat dilakukan dengan menentukan tata ruang pada sistem usahatani konservasi. Ada lima faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan konservasi lahan, yaitu: sistem usahatani (pola pertanian), prospek komoditas yang akan dibudidayakan, erodibilitas (kepekaan terhadap erosi), kedalaman tanah, dan kemiringan lahan. Pada lahan yang memiliki tingkat kemiringan 15%-45% dapat ditanami tanaman tahunan (hortikultura, perkebunan, atau kayu-kayuan).

C.     Pemilihan komoditas spesifik lokasi

Dalam memilih komoditas yang sesuai dengan lahan, ada empat faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: syarat tumbuh tanaman, iklim, topografi, dan karakteristik tanah. Ada berbagai kriteria dalam pemilihan komoditas secara spesifik yang perlu dipertimbangkan sehingga sesuai untuk pendayagunaan lahan:

a.    Teknologi budidaya yang mudah sehingga cukup memerlukan input yang rendah

b.    Memiliki resiko yang cukup kecil

c.    Cepat berproduksi dan hasil produksi tahan lama

d.    Mempunyai peluang yang baik untuk dapat dipasarkan

e.    Akan lebih baik, jika sesuai dengan minat dan keinginan petani

1.4 Kendala Lahan Marginal

Membangun dan mengembangkan sistem agribisnis di lahan marginal memungkinkan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Menurut Ernawanto dan Sudaryono (2016) kendala dan masalah yang dihadapi dalam pegembangannya cukup bertautan, diantaranya:

A.    Modal yang dimiliki petani kurang mencukupi

B.     Sarana dan prasarana wilayah kurang memadai

C.     Tingginya curah hujan, minimnya perlindungan tanah dari vegetasi permanen, dan Lereng yang curam mengakibatkan kemampuan erosi tanah relatif tinggi

D.    Kesuburan tanah yang rendah karena kemampuan pengembalian bahan organik yang kurang, kedalaman lapisan lahan (solum lahan) yang dangkal, dan pemakaian pupuk kimia yang kurang tepat

E.     Kematian tanaman dan kegagalan panen adalah resiko tinggi yang diakibatkan oleh pola hujan yang bervariasi (ketidakpastian hujan), kekeringan saat musim kemarau, erosi saat musim hujan, dan penguasaan teknologi yang masih bersifat pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten)


 

Bab 2: Lahan Kering

2.1 Definisi Lahan Kering

Lahan kering dapat didefinisikan sebagai lahan atau hamparan yang dalam kurun waktu setahun sebagian besar tidak digenangi atau tergenangi oleh air (Adimihardja, Amin, & Djaenudin, 2000). Adimiharja dkk. (2000) menambahkan bahwa sistem produksi pertanian yang dilakukan pada lahan kering memiliki permasalahan utama yakni masalah dalam hal kelangkaan yang berhubungan dengan kondisi fisik-kimia tanah dan ketersediaan populasi biologi tanah (hayati tanah) yang terbatas. Selaras dengan definisi lahan kering oleh Adimihardja dkk. (2000), Sukarman dan Ritung (2012) mendefinisikannya sebagai paparan lahan yang tidak pernah tergenang air dalam kurun waktu yang lama (setahun atau sepanjang masa). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa lahan kering adalah lahan dalam kurun waktu yang lama tidak digenangi atau tidak pernah digenangi oleh air.

2.2 Karakter Lahan Kering

Pada penelitian ‘Lahan Kering untuk Pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering’, Hidayat dan Mulyani (2002) menyatakan bahwa pada umumnya lahan kering memiliki kedalaman tanah/ solum tanah yang dangkal dan kelerangan yang curam. Sebagian besar wilayah lahan kering berada di wilayah Gunung (kelerangan >30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%). Akibat dari lereng yang curam menyebabkan lahan kering rentan terhadap erosi. Ketersediaan air pada lahan kering juga dapat mempengaruhi usahatani, sehingga kegiatan pertanian tidak dapat dilakukan sepanjang tahun (Minardi, 2009).

Idjudin dan Marwanto (2008) menambahkan, bahwa lahan kering memungkinkan untuk berada di iklim basah dan di iklim kering. Untuk lahan kering yang memiliki iklim basah, lahan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang rendah, kandungan pH yang rendah, dan tanah teracuni oleh alumunium. Sedangkan untuk lahan kering yang memiliki iklim kering lahannya relatif subur namun kekurangan air, juga kekurangan unsur hara makro (sulfur) dan unsur hara mikro (zat besi, tembaga, mangan, seng, dll). Menurut Widnyana (2011), lahan kering secara umum memiliki karakteristik yang dapat dilihat dari agroekosistemnya, yakni:

A.    Memiliki keadaan permukaan (topografi) yang tidak datar

B.     Rawan terhadap erosi

C.     Kandungan unsur hara yang kurang memadai

D.    Bergantung kepada iklim

E.     Pengelolaan lahan yang agak sulit dikarenakan sistem usahatani yang beragam

2.3 Potensi dan pemanfaatan Lahan Kering

Menurut Widnyana (2011), lahan kering dikategorikan sebagai lahan marginal dikarenakan sebagian besar lahan kering dinilai kurang produktif. Tingkat produktifitas lahan kering dilihat dari sisi kesuburan tanah dan ketersediaan air. Sehingga, perlu penanganan yang tepat secara bijak dan baik untuk dapat meningkatkan potensi dan produktivitas lahan kering. Sumberdaya lahan kering dapat pulih dengan sendirinya, namun memerlukan biaya yang tergolong tidak sedikit dan waktu yang cukup lama. Pengelolaan lahan kering dibutuhkan agar dapat mencukupi kebutuhan hidup makhluk hidup secara berkelanjutan, tanpa mengakibatkan penurunan kualitas lahan.

Setidaknya, ada empat maksud dan tujuan dari adanya pengelolaan lahan kering antara lain:

A.    Sumberdaya alam yang terlindungi

Pada pidatonya yang berjudul ‘Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan, Minardi (2009) menyatakan untuk mengurangi terjadinya gradasi air dan tanah dapat dilakukan tindakan konservasi tanah dan air. Tindakan tersebut berfungsi untuk memperbaiki aerasi, memperbesar kapasitas infiltrasi, memperlambat aliran permukaan, menyediakan ketersediaan air bagi tanaman, melindungi tanah dari kerusakan yang ditimbulkan akibat butiran hujan yang jatuh.

B.     Menambah produktivitas lahan kering

Minardi (2009) menambahkan, peningkatan produktivitas lahan kering dapat melalui pengelolaan kesuburan tanah, baik secara kimiawi, fisik, maupun biologi tanah. Pengelolaan kesuburan tanah selain dengan penambahan pupuk yang tepat, juga dapat diimbangi dengan pemeliharaan fisik tanah sehingga baik untuk kehidupan organisme tanah, dan pertumbuhan tanaman.

C.     Menekan resiko kegagalan

Pengoptimalan usahatani lahan kering yang tepat dapat memperbesar peluang panen sehingga dapat menekan resiko kegagalan dengan beberapa cara, yakni dengan cara mengatur pola tanam (misal dengan tumpang sari/tumpang gilir), memilih tanaman yang toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik pada lokasi tertentu (Minardi, 2009). Pemilihan komoditas/jenis tanaman juga mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan usahatani di lahan kering. Beberapa hal yang patut diperhitungkan dalam pemilihan jenis tanaman/ komoditas:

a.    Memilih komoditas yang cocok dengan agroklimat di lahan tersebut

b.    Memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi pelaku pertanian (memiliki minat/kesenangan, teknologi mudah, input/masukan yang rendah, dan jumlah tenaga kerja yang sesuai)

c.    Searah dengan kebijakan dari pemerintah daerah setempat

d.    Mendukung upaya konservasi air dan tanah

D.    Meningkatkan sosial ekonomi masyarakat, khususnya pelaku pertanian

Dalam jurnal Pemberdayaan Lahan Kering Untuk Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan, Irawan dan Pranadji (2002) menyatakan bahwa pemberdayaan/pengelolaan lahan kering yang tepat akan berimplikasi terhadap pembangunan pertanian dan ketahanan ekonomi, apabila mempertimbangkan beberapa aspek:

a.         Nilai ekonomi akan bertambah jika lahan kering yang dimanfaatkan sebagai stabilisasi/ peningkatan fungsi ekosistem

b.         Nilai ekonomi yang berbasis agribisnis secara berkelanjutan jika lahan kering ditempatkan sebagai sumberdaya strategis

c.         Lahan kering sebagai penopang berbagai sistem subsisten masyarakat kecil/ etnis lokal karena ketergantungannya terhadap habitat (ekosistem) tersebut

d.         Sebaran lahan kering yang luas diperbatasan daerah (daerah yang jauh dari pusat) menjadi peluang untuk dikembangkan lebih lanjut agar memiliki ketahanan ekonomi di wilayahnya

2.4 Kendala Lahan Kering

Ada beberapa kendala yang dapat muncul ketika ingin berbudidaya di lahan kering. Dari beberapa kendala yang ada, dapat diambil permasalahan besar dan penyelesaiannya antara lain:

A.    Permasalahan Ketersediaan Air

Air yang turun melalui curah hujan di daerah lahan kering beriklim basah umumnya tidak dapat diserap dengan baik, dikarenakan minimnya kemampuan tanah dalam mengikat dan menahan laju aliran air permukaan. Menurut Subagyono dkk. (2004), ada sejumlah tata cara yang dapat digunakan untuk melakukan teknik konservasi air antara lain dengan teknik pemanenan air hujan (membuat saluran peresapan, embung, mulsa vertikal, dan sistem drainase) dan teknik pengendalian evaporasi (menggunakan mulsa baik yang berasal dari sisa-sisa tanaman atau dari plastik).

B.     Kesuburan Tanah

Tingkat kemasaman pH yang tinggi (pH rendah), kandungan unsur hara, kandungan bahan organik, dan keberadaan organisme yang minim menjadi faktor pembatas di lahan kering. Faktor pembatas menjadi kendala dalam pengelolaan di lahan kering. Kendala tersebut dapat diatasi dengan pengaplikasian kapuran (kalsit, dolomit, dan kapur oksida), sekam padi, abu serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah pertanian yang diaplikasikan kepada lahan untuk meningkatkan pH tanah sampai pada tingkat kemasaman normal. Sedangkan untuk kandungan unsur hara dapat dilakukan dengan pemberian pupuk, penambahan bahan organik tanah (Lakitan & Gofar, 2013).

2.5 Pemanfaatan Lahan Kering Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura Buah

2.5.1 Lokasi dan Agroklimat

Ada beberapa kebun lahan kering yang sudah dibudidayakan buah naga, salah satunya kebun hortikultura buah Sabila Farm yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 18,5, Pakem, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, pada ketinggian 500 M dpl dan curah hujan 3,200 mm pertahun. Jenis tanah grumusol liat berpasir dengan topografi berbukit terasering, pH tanah sekitar 6,0.  Lahan kering tidak ada irigasi dan penggunaan untuk palawija singkong atau tanaman semangka dan melon pada musim tertentu.

2.5.2 Penanaman

Perbedaan budidaya tanaman buah-naga di lahan-lahan marginal ialah di persiapan lahannya. Lahan kering dan kadang berupa cadas lunak, tidak perlu di land clearing dengan alat berat ataupun ringan, karena budidaya buah naga di lahan kering hanya menggunakan media 1 m2 disekitar tiang panjatan. Jarak tanam yang digunakan 3 meter x 3 meter dan di titik tersebut dibuat lubang sedalam 50 cm dengan lebar 10 cm untuk tempat tiang panjatan.


Seluas 1 m2 keliling titik tiang lubang tanam tiang panjatan dikeruk tanahnya sedalam 20 cm dan diisi dengan bahan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi, yaitu:

A.    Sekam bakar: 2 kg

B.     Kapur dolomit: 2 kg

C.     Pupuk kandang: 10 kg – 20 kg

D.    Pupuk NPK: 100 gr

Semua bahan diaduk dengan tanah sekitar tiang panjatan. Setelah itu didiamkan selama 1–2 minggu agar lahan beradaptasi (sejuk) dan tanaman akan tumbuh baik.

Tiang panjatan di lahan kering bisa dengan:

A.    Beton bertulang ukuran diameter 10 cm x 10 cm dan panjang 200 cm.

B.     Kayu hidup dari batang/cabang tanaman pohon kuda (Lannea coromandelica), jaranan, kayu kudo, kayu Jawa, kedondong laki dan sejenisnya. Panjang kayu hidup ± 1,8 m. 

Benih tanaman biasanya berupa stek dari batang tanaman buah naga, panjang ± 35 cm dan sudah di aklimatisasi. Stek benih bisa disemai dengan polybag ukuran 10 cm x 15 cm terlebih dahulu agar tumbuh akar dan tunas, atau langsung ditanam di lapangan dengan resiko tumbuh kurang merata, walau nantinya akan tumbuh seragam juga.


Satu tiang panjatan ditanam empat stek, menanamnya cukup sedalam 5 cm saja dan empat stek diikat dengan tali rafia ke tiang supaya kokoh menangkup tiang. Tunas biasanya akan tumbuh setelah 35 hari dari tanam, dan jika stek yang sudah disemai yang digunakan, maka pertumbuhan tanaman akan lebih cepat.

2.5.3 Perawatan

Tunas yang tumbuh pada satu stek bisa banyak, akan tetapi dipelihara satu tunas dan pilih yang menyenangkan dihati sedang lainnya di pangkas saja. Tunas yang tumbuh ini dipelihara setahap demi setahap dan diikat dengan tali rafia ke tiang, dirawat terus sampai ke ujung tiang panjatan. Setelah ke empat tunas tumbuh sampai di atas ujung tiang panjatan, maka diikat dengan tali plastik stripping lebar 3 cm. Tali akan kuat untuk bertahan belasan tahun dan tidak perlu ada sulaman atau penggantinya.

Tunas yang tumbuh bisa 2-3 cm setiap hari dan dijaga supaya tidak stres. Tanaman yang stres akan nampak ada pengecilan tunas dan bentuk bisa meramping. Stres tanaman umumnya karena terganggu kebutuhan air tanaman atau ada hara tanaman tertentu yang berkelebihan, misal almunium, besi atau mangan dan lainnya.

Perawatan pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk ulangan setiap tiga bulan sekali. Setiap tiang tanaman berupa:

A.    Pupuk kandang: 5 -10 kg

B.     Kapur dolomit: 2 kg

C.     Pupuk NPK: 100 gram

Pemberian pupuk daun juga disarankan, jenisnya yang biasa dijual di toko pertanian. Jangan menggunakan perangsang buah, karena buah naga berbunga bukan karena bahan kimia, tapi perlunya stimulus dengan penambahan cahaya. Perangsang buah untuk menjadikan buah jadi besar dan kulit menebal juga jangan digunakan, sebab rasa buah akan tidak enak, tidak manis, dan kulit buah jadi tidak berwarna alami.

Hama dan penyakit tanaman buah naga ada banyak, akan tetapi pada umumnya buah naga tahan terhadap serangan hama penyakit. Ada penyakit yang perlu diperhatikan, yaitu kanker batang atau kudis yang disebabkan oleh cendawan. Cendawan ini sangat cepat menyebar dan sulit dikendalian atau sulit diobati untuk menjadi sembuh. Obat yang biasa digunakan adalah bubur kalifornia yang merupakan paduan dari bahan: kapur tohor, belerang dan prusi (CuSO4.5H2O).

2.5.4 Pertumbuhan dan Panen

Pada kondisi normal, pertumbuhan buah naga sangat cepat, karena kombinasi sumberdaya lahan, perawatan dan agroklimat yang saling mendukung. Cahaya matahari yang langsung dan hara tanaman cukup serta kebutuhan air tercukupi, maka jadi ideal untuk pertumbuhan tanaman.  Tanaman buah naga ini adalah tumbuhan yang saat melakukan fotosintesis menggunakan lintasan crassulacean acid metabolism (CAM) untuk meminimalkan laju fotorespirasi.

Agar tanaman bisa berbunga, maka buah naga yang tumbuh di lahan kering mempunyai sulur tanaman yang menjuntai ke arah bumi dan mendapat stimulus cahaya. Duri yang ada di punggung sulur tanaman akan terstimulus dan muncul kuncup bunga. Umumnya tanaman akan terkondisikan untuk bisa berbunga pada umur tanaman 10 bulan sampai dengan 12 bulan sejak tanam.

Buah naga berbunga dikarenakan tergantung dari durasi pencahayaan matahari, maka musim berbuah di belahan bumi utara dan bumi selatan akan berbeda. Sedangkan pada equinok khatulistiwa akan mendapat pencahayaan yang cukup selama 12 bulan bisa potensi untuk berbunga sepanjang tahun.

Pecahnya duri dan tunas bunga muncul sampai antesis bunga mekar perlu waktu 20 hari dan dari bunga mekar menjadi buah siap masak fisiologis perlu waktu 33 hari. Maka tanaman buah naga adalah tanaman buah yang paling cepat bisa dipetik hasilnya.

Potensi produksi buah naga di lahan kering sekitar 20 ton per hektar per tahun.


 

Bab 3: Lahan Karst

3.1 Definisi Lahan Karst

Sebelum memahami definisi dari lahan karst, sangat menarik untuk mengetahui sejarah kemunculan kata tersebut. Menurut Moore and Sullivan (1978) dalam Adji dkk (1999), sejarah munculnya kata ‘Karst’ di Indonesia berasal dari kata ‘krst/ krast’ yang merupakan adopsi dari bahasa Yugoslavia dan Slovenia. Istilah ‘krst/ krast’ adalah suatu daerah di Yugoslavia yang berbatasan dengan Italia bagian Utara, tidak jauh dari kota Trieste. Istilah tersebut terdiri dari kata kar (batuan) dan hrast (pohon Ek atau Tarbantin) dan pada tahun 1774 pertama kalinya digunakan oleh para pembuat peta-peta Austria yang ditujukan untuk suatu nama daerah berbatuan gamping, hutan pohon Ek atau Tarbantin di daerah yang bergoa terletak di bagian timur laut Italia dan bagian barat laut Yugoslavia.

Dalam prosiding seminar yang berjudul ‘Kawasan Karst Dan Prospek Pengembangannya Di Indonesia, Adji dkk (1999). menyebutkan adapula ilmuwan lain yang menjelaskan bahwa istilah karst berasal dari kegiatan perumputan oleh ternak di suatu kawasan yang mengakibatkan terungkapnya batuan dan fenomena di dalamnya yang sangat unik dan khas. Sehingga istilah karst saat ini digunakan di seluruh dunia untuk menyebutkan seluruh kawasan berbatuan gamping, gypsum, batuan garam dan anhidratnya, yang memiliki keunikan/ spesifikasi yang sama (proses/ fenomena pelarutan).


Untuk definisi dari lahan karst itu sendiri, menurut Ford dan Wiliam (1996) dalam Adji dkk. (1999), karst adalah sebuah kawasan dengan kondisi hidrologi yang khas sebagai dampak dari batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder yang berkembang dengan baik. Menurut Keputusan Menteri ESDM (2012) tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst, karst dapat diartikan sebagai kawasan eksokarts dan endokarts tertentu yang terbentuk karena pelarutan air pada dolomit dan atau batu gamping. Eksokarts adalah karst bagian permukaan, dan contoh dari eksokarts adalah bukit karst, dolina, uvala, polje, telaga, dan mata air permanen. Endokarst merupakan karst bagian bawah permukaan, dan contoh dari endokarts adalah speleotem dan sungai bawah tanah.

3.2 Karakter Lahan Karst

Ford dan Willian (1996) dalam Adji dkk (1999). menjelaskan bahwa Karst tidak hanya terjadi sebagian besar di batuan gamping, namun juga di batuan karbonat. Ciri utama memiliki cekungan-cekungan tertutup (dolin), yang apabila dolin saling menyatu akan membentuk uvala. Pembentukan karst selain dolin dan ulava antara lain polje, ponor, pinacle, menara karst (kubar karst). Bukit-bukit/ panorama karst yang terhampar luas merupakan kombinasi dari terbentuknya menara karst (kubah karst) dan dolin. Summerfield, (1991) dalam Adji dkk. (1999) menjelaskan bahwa istilah karst dengan batuan gamping yang memiliki ciri:

A.    Solum tanah tipis yang hanya pada tempat tertentu

B.     Terdapat cekungan-cekungan tertutup (dolin)

C.     Drainase permukaan yang langka

D.    Memiliki sistem drainase bawah tanah

3.3 Potensi dan pemanfaatan Lahan Karst

Potensi yang ada di lahan Karst menurut Adji dkk. (1999) dapat dijelaskan dalam potensi sumber daya alamnya. Sumber daya alam karst yang ada antara lain adalah:

A.    Sumber daya mineral

B.     Sumber daya lahan

C.     Sumber daya air

D.    Sumber daya hayati

E.     Sumber daya lansekap

Sumber daya alam yang berkaitan dengan pertanian adalah sumber daya lahan dan air. Sumber daya lahan di lahan karst memiliki potensi dan nilai manfaat bagi penduduk setempat sebagai sumber penghasil pangan sehari-hari walaupun cakupannya tidak begitu besar.

Dolin atau lembah-lembah di daerah karst memiliki potensi yang cukup tinggi, dan lebih baik lagi ketika proses fluvial mulai bekerja, disamping proses solusional. Lembah-lembah atau dolin memiliki testur tanah lempungan, warna kemerahan, dan kedalaman sedang. Daerah lembah yang ada di kawasan karst dapat dimanfaatkan untuk pertanian yakni tanaman semusim lahan kering, sawah tadah hujan, bahkan cocok untuk tanaman jati. Komoditas lain yang dapat diusahakan oleh masyarakat yakni tanaman buah (Adji, Haryono, & Woro, 1999).

Ruswanto et.al, (2008) dalam Aidin (2017)  menambahkan kawasan karst sebagai daerah yang kering dan gersang. Kondisi fisik lahan tersebut menyimpan potensi sumber mata air yang dapat digunakan oleh masyarakat. Contoh pemanfaatan sumber air di kawasan karst yaitu bahan baku air bersih oleh PDAM yang dapat memenuhi kebutuhan wilayah sekitar dan pemukinan di daratan bagian bawahnya

3.4 Kendala Lahan Karst

Menurut Adji dkk. (1999), kawasan karst merupakan keterkaitan antara lingkungan fisik-non fisik, biogeokimia, serta hayati-non hayati yang saling berhubungan membentuk suatu ekosistem baik pada eksokarst maupun endokarst. Apabila salah satu komponen penyusunnya rusak atau tercemar, maka lingkungan karst juga akan rusak karena sifatnya yang memiliki daya dukung yang lemah. Degradasi pada lahan karst menyebabkan penurunan sumber daya air dan lahan. Pada karya tulis berjudul Kawasan Karst Dan Prospek Pengembangannya Di Indonesia, Adji dkk. (1999) menjelaskan ada beberapa permasalah degradasi lahan karst yang timbul akibat dari pemanfaatan sumberdaya alamnya, antara lain:

  1. Kegiatan Penambangan

Penambangan yang terjadi di lahan karst pada umumnya dilakukan sangat intensif untuk kegiatan industri, baik dari skala kecil, sedang, hingga besar (contohnya pabrik semen). Aktivitas penambangan yang dikerjakan sebagian besar pada batuan gamping yang mengakibatkan terkikisnya kubah-kubah karst. Permasalahan yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan menyebabkan erosi dan sedimentasi, kesuburan tanah dan indeks keanekaragaman hayati yang menurun, bentang alam/lahan yang berubah, dan tercemarnya udara dan perairan.

B.     Penebangan Vegetasi

Vegetasi-vegetasi yang ditebang di lahan karst akan menimbulkan dampak pada lingkungan, yakni kadar CO2 dan permeabilitas tanah di permukaan (top-soil) yang meningkat, sedangkan permeabilitas sub-soil dan penguapan (evapotranspirasi) yang menurun. Dampak lebih besar lagi yang ditimbulkan dari penebangan vegetasi adalah gangguan pada tanah. Penurunan fungsi tanah sebagai pengikat dalam menjaga kestabilan lereng diakibatkan dari pembusukan akar-akar pohon. Selain itu, tingkat erosi permukaan yang sangat tinggi memberikan efek lapisan tanah yang hilang.

3.5 Pemanfaatan Lahan Karst Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura Buah






3.5.1 Lokasi dan Agroklimat

Ada tiga lokasi lahan karst yang sudah digunakan untuk budidaya buah naga, yaitu di Pantai Parang Racuk, Kanigoro, Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul D.I.Yogyakarta, dan Girijati, Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, D.I.Yogyakarta serta di Penfui Timur, Kupang Tengah , Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

3.5.2 Persiapan Lahan

Topografi lahan karst umumnya berbukit dan letak batuannya tidak teratur, maka ada dua cara dalam berbudidaya tanaman buah naga di lahan karst, antara lain cara pertama lahan seperti keadaan alami yang ada dan cara kedua yaitu  lahan dilakukan perataan, dibuat seperti kolam ikan dan kemudian dibagian yang cekung diisi dengan tanah mineral.

Tiang panjatan harus terbuat dari beton bertulang panjang 2 m dan sisi-sisinya 11 cm. Tingkat kekerasan setidaknya K-175 karena lahan karst termasuk lahan yang keras secara batuan ataupun keras secara agroklimatnya.  Jarak tanam tetap 3 meter x 3 meter bila pas di titik tanam tiang panjatan ada batu besar dan keras sulit untuk budidaya tanaman, maka bisa menggeser letak titik tanam atau sama sekali tidak ditanami.

Pemasangan tiang beton dengan menggunakan bor drill untuk pemecah aspal ataupun beton, dimana sumber listrik dari genset portabel yang dibawa ke lapangan. Hal ini mudah dilakukan, dan tiang beton masuk 30 cm – 50 cm sudah sangat kokoh menancap. Pada saat musim hujan sebaiknya dilakukan penanaman atau di lokasi dibuatkan embung penampungan air yang sumbernya dari mata air yang diperoleh dari mengebor tanah dan ketemu sumber air yang dangkal.

Bahan dasar untuk pertumbuhan tanaman pada dasarnya sama dengan budidaya buah naga di lahan kering, yaitu:

A.    Pupuk kandang: 10 kg – 20 kg

B.     Sekam bakar: 2 kg

C.     Pupuk NPK: 100 gram

Campuran ini diletakkan di sekeliling tiang panjatan, diaduk merata dengan sedikit tanah yang ada, dan diamkan dahulu 1-2 minggu.

3.5.3 Penanaman

Pada lahan karst solum tanahnya sangat tipis, maka bibit stek tanaman sebaiknya sudah disemai dahulu di polybag ukuran 10 cm x 15 cm dengan campuran cocopeat dan tanah serta pupuk kandang yang sudah terfermentasi.

Penanaman dalam satu tiang digunakan empat stek dan dipilih tinggi tunas stek yang sama tinggi supaya pertumbuhannya merata dalam satu tiang. Empat stek diikat ke tiang dengan rafia, dan bila banyak tumbuh tunas, maka dalam satu stek dibiarkan satu tunas saja hingga sampai di ujung tiang.

Setiap pertumbuhan tunas menempel di tiang, bisa diikat dengan tali rafia yang lunak dan mudah rusak, agar tunas tidak terluka, dan pengikatan akan merangsang pertumbuhan akar udara (epifit) yang bermanfaat untuk tanaman.  Setelah tunas tumbuh lebih panjang dari tiang, maka akan melengkung ke arah bawah (gravitropisme) saat itulah tunas yang sudah menjadi sulur tanaman akan membentuk bunga bila dimusim produksi atau akan membentuk tunas (cabang) tanaman yang muncul dibanyak duri pada lengkungan sulurnya.

3.5.4 Perawatan

Pemupukan susulan lebih mudah yaitu setiap tiga bulan sekali yaitu diberikan pupuk kandang sapi atau kambing 10 kg – 20 kg dan pupuk NPK 100 gram pertiang tanaman. Penanaman dilakukan di awal musim hujan, maka selama enam bulan sudah cukup airnya dan tanaman sudah bisa tumbuh bertahan menunggu kurang lebih enam bulan lagi untuk musim hujan yang akan datang.

Pada budidaya buah naga di lahan karst terdapat kendala utama yakni penyiraman tanaman di musim kemarau. Disaat penghujan maka jumlah air siraman dari hujan sudah mencukupi, sedang pada musim kemarau kadang bisa mengandalkan embun ataupun uap air yang dibawa angin laut ke daratan. Sumber air di lahan karst ada tiga antara lain dari sumber mata air, sungai di bawah tanah, sumur, gua atau luweng.

Lokasi lahan karst di Kupang, sumber air diperoleh dengan cara membuat embung dan penampungan dengan dinding kolamnya dibuat dari semacam plastik mulsa yang tebal dan tahan cuaca. Sumber air diambil dari membuat sumur bor tanah kedalaman hanya ± 50 m. Sumber air dari embung ini selain untuk mengairi budidaya tanaman hortikultura seperti sayuran, buah serta ternak, juga bisa untuk membantu masyarakat penyediaan air minum dan MCK.

Hama dan penyakit di lahan karst sama saja dengan di lahan kering, yaitu adanya kutu putih (Bemisia tabaci) yang berasosiasi dengan semut hitam. Kutu putih merupakan vector virus yang merugikan, dan eskresi kutu putih berupa madu akan mengakibatkan tumbuhnya  embun jelaga yang bisa mengurangi efek fotosintesa pada periode tertentu.

Penyakit utama pada buah naga yaitu:

A.       Busuk coklat, layu fusarium oleh jamur Fusarium oxysporium

B.       Busuk kuning, disebabkan bakteri Erwinia sp.

C.       Antraknosa, disebabkan jamur Colletotrichum sp.

D.      Mosaik, diduga disebabkan Virus Cactus X

E.       Puru akar, disebabkan nematoda Meloidogyne sp.

F.        Kudis karena jamur Pestalosiopsis sp.

3.5.5 Panen dan Pascapanen

Sebaran lahan karst di Indonesia ada di utara, tengah dan selatan khatulistiwa. Maka musim berbuahnya mengikuti pergerakan matahari dari utara ke equinox dan ke selatan kemudian kembali equinox. Saat garis bujur ada edar matahari, maka saat itulah musim berbunga dan produksi buah naga.

 

Bab 4: Lahan Gambut

4.1 Definisi Lahan Gambut

Lahan gambut didefinisikan sebagai ekosistem yang memiliki beragam fungsi mulai dari pengaturan hidrologi, lingkungan, keanekaragaman hayati, dan ekonomi (Sukarman & Ritung, 2012). Menurut Najiyati dkk. (2005), jika dilihat berdasarkan jenis dan kondisi tanah, lahan gambut dikelompokkan menjadi tanah rawa. Tanah ini terbentuk akibat penumpukan bahan organik dari sisa-sisa tumbuhan/ vegetasi dalam waktu yang lama, dan selalu tergenang atau terendam air sepanjang tahun kecuali dilakukan pengaturan drainase.

Sependapat dengan pernyataan tersebut, Noor dkk. (2016) menambahkan, bahwa penebalan gambut diakibatkan oleh bahan organik yang menumpuk dalam keadaan tergenang air. Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral karena unsur dan proses pembentukan tanah yang khas. Ketebalan gambut dipengaruhi oleh dominasi kandungan bahan organik yang membentuknya, semakin tebal (dalam) maka bahan organik semakin mendominasi. Namun, gambut dangkal (tipis) dibentuk dari gabungan bahan organik dan tanah mineral (terutama tanah liat).

4.2 Karakter Lahan Gambut

Tanah gambut memiliki sifat yang relatif kurang subur, kering tak balik (irreversible), dan rentan terhadap perubahan (fragile). Pada lahan gambut, ada dua lapisan kondisi tanah yang membentuknya, yakni lapisan atas (tanah gambut) yang memilki ketebalan lebih dari 50 cm, dan lapisan bawah (tanah aluvial) yang kedalamannya bervariasi (Najiyati, Muslihat, & Suryadiputra, 2005).

Najiyati, dkk. (2005) menambahkan, bahwa karakteristik lahan gambut ditentukan oleh sifat fisik dan sifat kimia. Beberapa uraian mengenai sifat-sifat dari lahan gambut sebagai berikut:

A.      Sifat Fisik antara lain meliputi tingkat kematangan gambut, warna, bobot jenis, kapasitas menahan air, kering tak balik (irreversible), daya hantar hidrolik, daya tumpu, penurunan permukaan tanah, dan mudah terbakar.

a.     Tingkat kematangan gambut

Kematangan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim, susunan bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Tingkat kematangan ditandai dengan penurunan dan perubahan warna gambut. Gambut yang telah matang, pada umumnya memiliki tekstur lebih halus dan lebih subur, dan sebaliknya jika belum matang akan lebih kasar dan kurang subur.

b.    Warna

Warna gelap pada gambut menandakan gambut semakin matang, umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut akan semakin gelap jika dalam keadan basah.

c.     Bobot jenis

Gambut memliki berat jenis cenderung lebih rendah daripada tanah aluvial. Berat jenis gambut akan semain besar jika dalam keadan yang semakin matang.

d.    Kapasitas menahan air

Gambut memiliki porositas yang cukup tinggi, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap air yang sangat besar. Kemampuan gambut dalam hal menahan air (reservoir) memberikan efek dapat melepaskan air saat musim kemarau dan menahan banjir saat hujan.

e.     Kering tak balik (irreversible)

Penurunan air permukaan akan menyebabkan kekeringan yang ekstrim, dan membuat gambut tidak dapat menyerap air kembali (karena sifatnya yang kering tak balik).

f.     Daya hantar hidrolik

Gambut mempunyai daya hantar hidrolik vertikal (ke atas) yang lambat, dan daya hantar hidrolik secara horisontal (mendatar) yang cepat. Hal itu menyebabkan walaupun lapisan bawah gambut basah, namun tetap sering mengalami kekeringan di lapisan atas.

g.    Daya tumpu

Gambut mempunyai daya tumpu yang rendah karena memiliki ruang pori yang cukup besar, sehingga bobotnya ringan dan kerapatan tanahnya rendah.     

h.    Penurunan permukaan tanah

Gambut yang direklamasi akan mengalami penurunan tanah akibat berkurangnya kandungan air dan proses pematangan gambut.

i. Mudah terbakar

Lahan gambut cenderung mudah terbakar karena kandungan bahan organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan daya hantar hidrolik vertikal yang rendah.

B.       Sifat Kimia berkaitan dengan kesuburan tanah gabut. Potensi kesuburan alami yang lebih baik dipengaruhi oleh air tanah dan sungai, dibandingkan dengan yang hanya terpengaruhi ole air hujan. Tanah gambut pada umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah, pH (kemasaman) yang rendah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, mengandung asam-asam organik yang beracun, serta Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi namun Kejenuhan Basa (KB) yang rendah. Kesburuan tanah gambut dipengaruhi oleh ketebalan gambut, bahan asal, kematangan dan kualitas gambut, kondisi di bawah permukaan gambut, dan kualitas air. 

4.3 Potensi dan pemanfaatan Lahan Gambut

Faktor pembatas yang terdapat di lahan gambut menyebabkan terbatasnya jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan. Faktor pembatas tersebut antara lain tingkat pematangan gambut, ketebalan tanah gambut, daya dukung tanaman, sistem drainase, dan kandungan asam organik yang tinggi. Akibat dari faktor pembatas tersebut, lahan gambut lebih cocok untuk komoditas hortikultura (sayur dan buah), dan tanaman tahunan. Mengingat sifatnya yang rentan terhadap perubahan, maka pengelolaan dan pemanfaatan perlu diperhatikan dengan baik dan mengikuti tingkat kesesuaian lahan (Sukarman & Ritung, 2012).

Menurut Noor dkk. (2016), berdasarkan ketebalan gambut, lahan gambut dapat dibedakan menjadi empat kelas dan dikategorikan sesuai dengan penggunaannya yakni:

A.    Gambut berketebalan dangkal (50–100 cm) cocok untuk tanaman pangan

B.     Gambut berketebalan sedang (100–200 cm) cocok untuk sayuran dan hortikultura

C.     Gambut berketebalan dalam (200–400 cm) cocok untuk perkebunan dan budidaya terbatas

D.    Gambut berketebalan sangat dalam (>400 cm) cocok untuk kawasan konservasi/lindung

Maka, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan gambut untuk pertanian khususnya tanaman buah cocok pada lahan dengan ketebalan gambut berkisar 100-400 cm.

Najiyati dkk (2005) menyatakan bahwa potensi lahan gambut untuk usaha di bidang pertanian masih cukup baik, namun masih banyak kendala yang menyebabkan tingkat produktivitas lahan optimal. Ada pertimbangan pelaku pertanian dalam memilih komoditas tanaman (khususnya tanaman tahunan) sebagai berikut:

A.      Input yang tidak terlalu besar (dalam hal tenaga kerja dan biaya) terutama setelah tanaman menghasilkan

B.      Resiko kegagalan yang relatif lebih kecil dibandingkan tanaman semusim

C.      Daya konservasi tanaman tahunan yang lebih besar dibandingkan tanaman semusim, karena pembukaan lahan yang hanya 1 kali dilakukan (mengurangi pembakaran hutan), tajuk tanaman yang mampu menutup permukaan tanah sepanjang tahun dan perakaran tanaman yang mampu mengikat tanah untuk mencegah/mengurangi terjadinya erosi

4.4 Kendala Lahan Gambut

Pembangunan usaha pertanian di lahan gambut tidak selalu berjalan dengan lancar, sebagian menyisakan degradasi pada lahan gambut, yang tertutupi oleh semak belukar dan dipengaruhi oleh saluran drainase. Gambut yang berfungsi untuk menyimpan karbon, air, dan konservasi keanekaragaman hayati mengalami penurunan. Dariah dan Maswar (2016) menambahkan bahwa proses degradasi fungsi lahan gambut diawali dari penebangan vegetasi alami dan proses drainase. Menurut Agus dkk. (2016), semak belukar yang tumbuh di lahan gambut akan mengalami dua proses yang menghasilkan sumber emisi antara lain:

A.  Dekomposisi dari aktivitas mikroba

Proses dekomposisi tidak berjalan seperti kondisi alamiahnya. Menurut Chimner and Cooper (2003) dalam Dariah dan Maswar (2010), dekomposisi yang secara alami bersifat anaerob, kemudian berubah menjadi aerob. Hal ini terjadi karena proses pembuatan drainase sehingga mengakibatkan oksigen menembus profil gambut. Perubahan kondisi tersebut membuat seresah dan material gambut mengalami dekomposisi yang lebih cepat. Dekomposisi aerob lebih cepat dibandingkan dekomposisi anaerob. Setelah bakteri melakukan dekomposisi gambut, maka karbon (C) yang tersimpan dalam gambut akan dilepaskan/ teremisi ke udara dengan bentuk karbondioksida (CO2).

B.  Kebakaran

Kebakaran pada lahan gambut menjadi sumber dari masalah lain, antara lain kesehatan. Kabut asap yang dihasilkan mengganggu aktifitas darat, laut, dan udara.

Lahan gambut yang mengalami degradasi dapat diperbaiki melalui sistem lahan pertanian. Lahan pertanian yang sudah dikembangkan perlu dipertahankan dan diintensifkan (peningkatan produksi) agar emisi CO2 dapat menurun, serta terjaganya keseimbangan fungsi lingkungan dan ekonomi (Agus, Gunarso, & Wahyunto, 2016).

Agus dkk (2016) menambahkan, ada beberapa permasalahan yang kerap dijumpai dalam pengelolaan lahan gambut antara lain:

  1. Ketebalan gambut (>3 meter)
  2. Permukaan gambut mengalami penurunan setelah direklamasi
  3. Lapisan bawah gambut (berupa pasir kuarsa dan lapisan pirit)
  4. Kesuburan tanah rendah
  5. Kemasaman tanah tinggi
  6. Daya dukung lahan rendah

4.5 Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura Buah

4.5.1 Lokasi dan Agroklimat

Sudah ada beberapa lokasi lahan gambut yang digunakan untuk budidaya buah naga, seperti di Jambi, Riau di Pulau Sumatra, Pontianak di Kalimantan Barat, sekitar Pangkalan Bun dan Panglangkaraya, Pulang Pisau dan Sampit, Kalimantan Tengah,  dan Kalimantan Timur. Penulis belum mendengar ada budidaya buah naga di gambut Papua.

Kelompok Tani “Mekar” di Parit Lurah, Desa Peniti Besar, Kecamatan Segedong, Kabupaten Pontianak ada budidaya buah naga varietas Sabila Putih (Hylocereus undatus) dan varietas Sabila Merah (Hylocereus polyrhizus), luas 20 hektar. Pada tahun 2013 -2015 penulis sebagai motivator dan penasehat teknis budidaya buah naga varietas Sabila Merah dan varietas Sabila Putih pada kelompok tani tersebut.

Menurut (Sukarman & Ritung, 2012), dalam mengoptimalkan kemampuan produksi di lahan gambut perlu adanya evaluasi mengenai kesesuaian lahan, tanpa berefek kepada fungsi lingkungan lahan gambut. Kesuaian pada lahan gambut antara lain:

A.    Karakteristik yang ada pada lahan gambut

B.     Syarat tumbuh tanaman

C.     Teknologi yang tepat atau sesuai dan mudah diterapkan.

Pada lokasi gambutnya dangkal kurang dari 3 meter, maka bisa dikatagorikan gambut yang relatif lebih subur dan bisa untuk budidaya tanaman pangan dan hortikultura buah. Mari, saya ceritakan banyak hal yang menarik dan banyak ilmu didapatkan.

4.5.2 Persiapan Tanam

Ada dua macam tiang panjatan yang bisa digunakan, yaitu : tiang kayu ulin dan tiang beton bertulang.  Karena mendapatan kayu ulin sangat sulit, maka diputusan menggunakan tiang panjatan dari beton bertulang dengan ukuran: 10 cm x 10 cm dan panjang 4 meter. Secara pemikiran, bahwa gambut dangkal di Kabupaten Pontianak ini kurang dari 3 meter, maka tiang beton yang dibuat sekitar 4 meter, dengan maksud 2 meter masuk ke gambut yang basah dan 2 meter di permukaan untuk budidaya. Pembuatan tiang beton jauh dari lokasi, sebab perlu tempat tanah mineral yang bisa kuat untuk pengecoran. Ada dua kendala besar dalam penanaman tiang beton ini:

A.  Pembuatan tiang beton sepanjang 4 meter dengan diameter 10 cm x 10 cm ini tidak mudah hampir mustahil. Tiang mudah patah, apalagi diangkat dengan tenaga manusia dan diangkut jauh ke pedalaman dengan perahu kelotok lewat sungai di rawa-rawa.

B.                 Penancapan tiang beton setinggi 4 meter dan diamater 10cm x 10 cm itu sangat sulit sekali teknisnya, bahkan mustahil. Sebab di dalam gambut, banyak kayu terbakar masa lalu, hal ini menjadi penghalang ketika tiang dimasukan ke dalam gambut. Tiang banyak yang patah jadi dua, dan justru ini hikmahnya. Tiang beton yang patah sepanjang ± 2 meter, ketika dimasukan ke gambut 50 cm pun ternyata bisa berdiri kokoh tidak mudah roboh. Maka diputuskan gunakan tiang beton bertulang diameter 10 cm x 10 cm dan Panjang cukup 2 meter. Mudah sekali pelaksanaan dalam penanamannya.

Budidaya buah naga di lahan gambut, tidak ada persiapan lubang tanam, tidak ada penyemaian bibit stek tanaman, semuanya jadi lebih hemat dan praktis. Kegiatan yang berat adalah persiapan kebun agar ada jalan yang bisa dilalui orang untuk kerja dan pembuatan parit-parit.

Lahan kebun dibuat parit-parit : primer, sekunder dan tersier untuk mengontrol permukaan air di kebun agar di parit tersier tinggi air maksimum 20 cm dan minimum 60 cm dari permukaan. Pada pengaturan permukaan air tanah inilah inti dan teknis penting yang mekanismenya harus dipahami oleh yang terlibat dalam budidaya buah naga di lahan gambut ini.

Pupuk dasar yang dilakukan hanyalah pemberian pupuk NPK 100 gram per tiang tanaman. Itupun seharusnya cukup dengan pupuk ZA dan TSP saja, sebab belakangan akan ketahuan bahwa kandungan K di lahan gambut banyak. Tidak perlu pupuk organik, sebab bahan organik di gambut banyak sekali, dan pH tanah 4,2 tidak perlu dinaikan dengan pemberian kapur. 

Lokasi penanaman ada di garis khatulistiwa Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, maka tanaman buah naga mulai berbunga setelah sulur mulai mengarah ke bumi (gravitropisme) pada 8 bulan setelah tanam dan buah bisa dipetik pada 10 bulan setelah tanam, sangat cepat sekali.

Pengecekan buah dengan refractometer bahwa kemanisan buah produksi lahan gambut Pontianak terukur 21 Brix! Sangat manis sekali. Gambaran buah naga yang ditanam di tanah mineral lahan kering Kebun Sabila Farm di Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta tingkat kemanisannya 16 Brix dan sudah dianggap matang manis.


 

Bab 5: Lahan Disposal Tambang

5.1 Definisi Lahan Disposal Tambang

Pada dasarnya, lahan disposal tambang adalah lahan yang sebelumnya digunakan sebagai area tambang dan setelah selesai penggunaannya, lahan tersebut digunakan menjadi lahan pertanian atau bisa disebut sebagai revegetasi. Menurut keputusan menteri kehutanan dan perkebunan No. 146 tahun 1999, revegetasi didefinisikan sebagai usaha penanaman kembali pada lahan bekas tambang.

Menurut Hermawan (2002), lahan disposal tambang adalah lahan kritis bekas tambang batubara yang dapat dialihfungsikan untuk menjadi lahan pertanian. Lahan disposal tambang pada umumnya kurang subur hal tersebut adalah akibat timbunan bahan-bahan yang berasal dari lapisan bawah tanah. Selain itu, akibat dari lalu lintas alat berat pada proses penambangan dan penimbunan, dapat menutup pori-pori tanah sehingga mengakibatkan tingkat kepadatan tanah yang tinggi dan permukaan tanah permukaan yang padat.

 

5.2 Karakter Lahan Disposal Tambang

Pada kegiatan pertambangan, sumberdaya yang diambil umumnya adalah batu bara, semen, nikel, emas, timah, dan lainnya. Keadaan lingkungan dan muka bumi akan berubah, tergantung pada proses saat pengambilan bahan tambangnya. Kondisi setelah penambangan akan merusak kondisi dalam tanah antara lain menurunkan produktivitas dan mempengaruhi fungsi hidrologis (Patiung, Sinukaban, Targian, & Darusman, 2011).

Dalam jurnal yang berjudul Pengelolaan Lansekap Lahan Bekas Tambang: Pemulihan Lahan dengan Pemanfaatan Suberdaya Lokal (In-Situ), Erfandi (2017) mengungkapkan kondisi lahan bekas tambang dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa kriteria, antara lain:

  1. Tanah Lapisan Atas (Top Soil) dan Erosi Tanah

Kondisi lahan bekas tambang menyebabkan penurunan kualitas lapisan atas tanah dengan ditandai perubahan struktur tanah, percepatan erosi tanah, turunnya pH tanah. Lapisan tanah atas yang hilang beberapa sentimeter menyebabkan penurunan produktivitas tanah. Lahan bekas penambangan batubara juga menyebabkan tanah menjadi peka terhadap erosi akibat dari menipisnya lapisan atas permukaan tanah.

B.     Kepadatan Tanah

Kepadatan tanah yang terjadi dari proses penambangan membuat kondisinya semakin padat. Artinya tingkat kepadatan tanah pada level ini memiliki kemampuan yang rendah untuk tanaman dapat hidup di lahan bekas tambang. Perlu adanya reklamasi melalui penambahan vegetasi pada jangka waktu tertentu untuk dapat menurunkan kepadatan tanah

C.     Kesuburan Tanah

Kondisi lahan bekas tambang memiliki kandungan pH yang lebih rendah dari lahan sebelum proses penambangan. Kisaran pH antara 2,2-3,5 diakibatkan dari akumulasi pirit yang dihasilkan dari karbonat (Ca/MgCO3) yang tidak melapuk. Tingkat kesuburan di lahan disposal tambang dapat dikatakan rendah, karena perbubahan ketersedian unsur hara makro dan mikro, serta banyaknya kandungan logam yang terkandung dalam tanah.

D.    Mikroorganisme Tanah

Menurut Ghose (2005) dalam Erfandi (2017) menuturkan bahwa mikroorganisme tanah menjadi faktor terpenting dalam tanah karena peranannya dalam stabilisasi agregat dan porositas tanah. Adanya mikroorganisme tanah akan menunjang tanaman untuk dapat hidup di tanah tersebut. Dalam makalah Erfandi (2017), Edgerton et al. (1995) menjelaskan aktivitas mikroorganisme dapat menurun jika kondisi tanah mengalami gangguan contohnya pada lahan yang dilakukan penambangan. Saat mikroorganisme tanah aktif, maka kestabilan agregasi tanah terjaga, namun apabila aktivitasnya menurun makan agregasi tanah tidak stabil dan tanah menjadi padat.

5.3 Potensi dan pemanfaatan Lahan Disposal Tambang

Pemanfaatan lahan disposal tambang dapat dilakukan dengan reklamasi melalui revegetasi. Tujuannya adalah untuk menjadikan kawasan yang rusak atau kurang manfaatnya menjadi kawasan yang lebih baik dan bermanfaat. Menurut Maharani (2010) dalam Setyowati dkk. (2017) dalam revegetasi terdapat kriteria dengan pertimbangan menyesuaikan dengan kondisi lahan bebas tambang, yakni:

  1. Memilih jenis tanaman pioner yang membutuhkan banyak cahaya dan mampu tumbuh di lahan marginal dan miskin unsur hara. Tanaman yang mampu beradaptasi dengan lahan marginal akan meminimalisir resiko dan faktor keberhasilan lebih besar.
  2. Tanaman yang pertumbuhannya cepat menandakan bahwa tanaman efektif dalam penyerapan unsur-unsur hara, penyerapan air, dan proses fotosintesis yang bekerja dengan baik. Tanaman jenis ini akan mempercepat proses perbaikan tanah karena mampu menghasilkan percabangan tajuk dengan cepat. Percabangan tajuk akan mampu untuk menahan kecepatan angin dan kondisi fisik tanah dapat terlindungi.
  3. Tanaman memiliki sistem perakaran yang baik dan mampu menghasilkan interaksi antara akar dan mikroba tanah.
  4. Tanaman mudah dibudidayakan, serta menghasilkan banyak buah. Budidaya dalam prakteknya yakni mudah dalam penanaman, pemeliharaan, dan perbanyakan tanaman.

5.4 Kendala Lahan Disposal Tambang

Setidaknya, ada dua jenis kendala yang memungkinkan untuk dialami dalam berbudidaya di lahan disposal tambang, yaitu kendala dari tanah itu sendiri dan kendala untuk tanaman yang akan ditanam di lahan tersebut. Pertama, kendala dari tanah itu sendiri. Menurut Dariah dkk. (2010), ada empat permasalahan yang timbul saat proses reklamasi tanah:

A.     Limbah tailing

Limbah tailing adalah salah satu limbah sisa pengolahan pertambangan. Menurut Pohan dkk. (2007), limbah tailing pada umumnya mengandung mineral-mineral berharga yang tidak dapat dihindari. Dariah dkk. (2010) menambahkan, limbah tailing mempunyai kemampuan mendukung kehidupan tanaman yang sangat rendah.

B.     Tercampurnya tanah pucuk dengan bahan galian

Sebagian besar, tanah pucuk (tanah paling atas) tidak dipisahkan dengan bahan galian dibawahnya (Dariah, Abdurachman, & Subardja, 2010). Sehingga, tanah pucuk menjadi tercampur dengan bahan galian dan membuat daya dukung lahan menjadi sangat terbatas.

C.     Erosi dan aliran permukaan yang tidak terkendali

Lahan tidak bervegetasi dengan bentuk permukaan yang tidak beraturan adalah salah satu ciri khas lahan bekas tambang yang belum direklamasi. Tanah pucuk yang bercampur dengan bahan galian secara alami mengalami rusaknya saluran drainase. Pada kondisi ini, tanah menjadi mudah tererosi, baik karena aliran permukaan yang tidak dapat dikendalikan maupun oleh curah hujan secara langsung.

D.    Pencemaran logam berat

Menurut Dariah dkk. (2010) ada beberapa aktivitas penambangan yang menghasilkan bahan-bahan pencemar. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam dalam bentuk air asam maupun kadar logam berat diatas batas normal yang ditemukan di tanaman.

Kendala kedua adalah dari kemampuan tanaman untuk tubuh di lahan disposal tambang. Menurut Hermawan (2011), dikarenakan terbatasnya kemampuan akar menembus ke dalam tanah untuk mendapatkan nutrisi dan air mengakibatkan sebagian besar tanaman pangan tidak mampu untuk tumbuh dengan baik. Salah satu contohnya adalah tertutupnya pori-pori tanah menyebabkan curah hujan sulit untuk mempenetrasi permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan sulitnya benih tanaman untuk berkecambah di lahan disposal tambang.

5.5 Pemanfaatan Lahan Disposal Tambang Untuk Budidaya Tanaman Hortikultura Buah

5.5.1 Lokasi dan Agroklimat

Beberapa lahan disposal tambang batubara yang sudah ditanami dengan tanaman buah naga antara lain dilokasi:

A.    Desa Asam Asam, Sarang Halang, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan

B.     Senakin, Kelumpang Tengah, Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan

C.     Beberapa lokasi lain yang menanam buah naga dalam skala luas ± 9 hektar.

Tiang panjatan ada 2 tipe yaitu beton bertulang diameter (10 cm x 10 cm x 200 cm) dan kayu ulin dengan diamater (5 cm x 10 cm x 200 cm). Tiang panjatan dari kayu ulin lebih rawan pencurian, maka dipilih ulin yang kualitas rendah tidak baik untuk buat rumah. Kayu ulin lebih praktis dan relatif murah daripada beton bertulang. Jarak tanam: 3 m x 3 m.

Kendala di lapangan bahwa disposal juga masih ada batuan yang kurang menunjang pertumbuhan tanaman, misal adanya batuan pirit. Cara mengatasinya dengan membuat kondisi 1 m2 sekitar tiang panjatan dibuatkan lubang sedalam 30 cm dan dimasukan bahan-bahan yang menunjang pertumbuhan tanaman, misal pupuk kandang, bahan organik dan tanah mineral yang tidak mengandung pirit.

Pertumbuhan tanaman bisa cepat dan karena terletak di garis khatulistiwa, maka tanaman bisa berbuah sepanjang tahun. Kualitas buah baik dan sangat layak untuk dikonsumsi. Usia tanaman 9 bulan sudah bisa menghasilkan buah. Produktivitas sekitar 10 ton per hektar per tahun.


 

Kesimpulan

 

Lahan marginal yang mempunyai keterbatasan secara : Fisik, Produksi, Ekonomi dan hydrologi merupakan potensi untuk meningkatkan produksi pangan, dengan mengelola tanaman pionir dari hortikultura buah seperti buah naga (Hylocereus sp.) dan beberapa tanaman lainnya

Tanaman buah naga yang pernah di coba budayakan di lahan marginal, mempunyai kharakter baik, yaitu tahan terhadap cekaman iklim dan juga bertahan berproduksi baik dari segi kuantitas maupun kuantitasnya.

Buah naga di lahan kering, produksi bisa 20 ton per hektar per tahun dan masih bisa ditingkatkan lagi bila diberikan pencahyaan yang sesuai secara tehnis untuk stimulus berbunga, dan juga penambahan hara secara tepat.

Lahan krast yang banyak bebatuan malah mempunyai potensi baik untuk memproduksi pangan tanaman hortikultura buah dengan krenova tehnologi yang tepat. Produksi bisa mencapai 20 ton per hektar per tahun.

Penanaman buah naga di lahan gambut dangkal, banyak mendapatkan ilmu dan pengalaman, harus bagaimana mengembangan gambut untuk menjadi idola dalam memproduksi pangan khususnya tanaman hortikultura buah.

Kualitas buah naga di lahan gambut yang masam pH 4,2 lebih manis dan renyah daripada Buah naga di  lahan kering dengan pH 6,0. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemasaman tanah tidak berpengaruh terhadap tingat kemanisan buah.

Budidaya buah naga dilahan disposal tambang, sangat memungkinkan untuk tumbuh baik selama terjaga bahan organic dan juga menghindari ganguan unsur racun buat tanaman. Hasil produksi cukup baik dan citarasa buah nya lebih manis daripada yang di jual secara umum.

Budidaya tanaman pioneer seperti buah naga di lahan marginal perlu dikembangkan dan terus diperbaiki krenova tehnologinya supaya lebih efisien dan berdaya ungkit untuk mengembangkan ekonomi di lokasi kebun dan punya daya angkat untuk pengembangkan rekreasi wisata kebun dengan pelatihan budidaya tanaman.

(Penulis : Dr.(HC) Ir. M.Gunung Soetopo )

 

Daftar Pustaka

Adimihardja, A., Amin, L. I., & Djaenudin. (2000). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. In Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Adji, T. N., Haryono, E., & Woro, S. (1999). Kawasan Karst Dan Prospek Pengembangannya Di Indonesia. Seminar PIT IGI di Universitas Indonesia. Jakarta.

Agus, F., Gunarso, P., & Wahyunto. (2016). Dinamika Penggunaan Lahan Gambut. Dalam: Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Aidin, A. (2017). Identifikasi dan Arahan Pemanfaatan Kawasan Eko Karst di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Makassar: Univesitas Islam Negeri Alauddin.

Anonim. (2014). Council of Agriculture, Executive R.O.C. Retrieved from Agricultural Statistic Yearbook: https://eng.coa.gov.tw/ws.php?id=2505449

Astuti, S., & Suryoatmojo, H. (2002). Pembangunan kawasan Gunung Kidul dengan konservasi lahan yang berwawasan lingkungan. Makalah dalam lokakarya pengembangan agribisnis berbasis sumberdaya lokal dalam mendukung pengembangan ekonomi kawasan selatan Jawa. Malang: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur.

Casas, A., & Barbera, G. (2002). Mosoamerican Domestication and Diffusion. In P. S. Nobel, Cacti Biology and Uses (pp. 143-162). California, USA: University of California Press.

Dariah, A., Abdurachman, A., & Subardja, D. (2010). Reklamasi Lahan Eks-Penambangan Untuk Perluasan Areal Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan, 1-12.

Erfandi, D. (2017). Pengelolaan Lansekap Lahan Bekas Tambang: Pemulihan Lahan dengan Pemanfaatan Suberdaya Lokal (In-Situ). Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 11 No. 2 , 55-66.

Ernawanto, D. Q., & Sudaryono, T. (2016). Rehabilitasi Lahan Marginal dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Konservasi Air. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 403-409.

ESDM. (2012). Keputusan Menteri ESDM: Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst. Jakarta: ESDM.

Gunadi, S. (2002). Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Kawasan Pesisir. Teknologi Lingkungan, 232-236.

Hardjowigeno, S., & Widjatmaka. (2007). Kesesuaian lahan dan perencanaan tataguna lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.

Hermawan, B. (2002). Buku Ajar Dasar-dasar Fisika Tanah. Bengkulu: Lemlit Unib Press.

Hermawan, B. (2011). Peningkatan Kualitas Lahan Bekas Tambang melalui Revegetasi dan Kesesuaiannya Sebagai Lahan Pertanian Tanaman Pangan. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian (pp. 60-70). Bengkulu: Universitas Bengkulu.

Hidayat, & Mulyani. (2002). . Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Jakarta: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Idjudin, A. A., & Marwanto, S. (2008). Reformasi Pengelolaan Lahan Kering untuk Mendukung Swasembada Pangan. Jurnal Sumberdaya Lahan., 115-125.

Irawan, B., & Pranadji, T. (2002). Pemberdayaan lahan kering untuk pengembangan agribisnis berkelanjutan. FAE Volume 20 no 2.

Jaya, I. D. (2010). Morphology and Physiology of Pitaya and it Future Prospects in Indonesia. Crop Agro Vol. 3 No. 1, 44-50.

Jupri. (2012, March 8). Lahan. Bandung, Jawa Barat, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.

Kang, S. &. (2013). Marginal Lands: Concept, Assessment and Management. Journal of Agricultural Science. 5.

Lakitan, B., & Gofar, N. (2013). Kebijakan inovasi teknologi untuk pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Lahan Suboptimal , 21-22.

Lap, L., & Chau, N. (2014). Increasing market acces for selected tropical fruits through value chain improvements in Vietnam. Increasing Production and Market Acces for Tropical Fruit in Southeast Asia (pp. 35-58). Vietnam: Southern Horticultural Research Institute (SOFRI).

Liu, P., Tsai, S., & Yen, C. (2015). Pitaya breeding strategies for improving commercial potential in Taiwan. Improving pitaya production and marketing (pp. 65-72). Taiwan: International workshop proceedings.

Luders, L., & Mahon, G. (2006). The pitaya or dragon fruit (Hylocereus undatus). Agnote No. D42. Northern Territory Government.

Minardi, S. (2009). Optimalisasi pengelolaan lahan kering untuk pengembangan pertanian tanaman pangan. Solo: Universitas Sebelas Maret.

Najiyati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. (2005). Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands International.

Nerd, A., Tel Zur, N., & Mizrahi, Y. (2002). Fruits of Vine and Columnar Cacti. In P. S. Nobel, Cacti Biology and Uses (pp. 185-197). California, USA: University of California Press.

Noor, M., Masganti, & Agus, F. (2016). Pembentukan dan Karakteristik Gambut Tropika Indonesia. In F. Agus, M. Anda, A. Jamil, & Masganti, Dalam: Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. (pp. 7-32). Jakarta: IAARD Press.

Patiung, O., Sinukaban, N., Targian, S. D., & Darusman, D. (2011). Pengaruh Umur Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara Terhadap Fungsi Hidrologis. Jurnal Hidrolitan, Vol 2, 60-73.

Pohan, M. P., Denni, W., Sabtanto, J. S., & Asep, A. (2007). Penyelidikan Potensi Bahan Galian Pada Tailing PT Freeport Indonesia Di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan Dan Non Lapangan Tahun 2007. Mimika: Pusat Sumber Daya Geologi.

Setyowati, R., Amala, N. A., & Aini, N. (2017). Studi pemilihan tanaman revegetasi untuk keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang. Al-Ard: Jurnal Teknik Lingkungan Vol.3 No.1.

Subagyono, K., Haryati, U., & Tala'ohu, S. H. (2004). Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. Dalam: Kurnia, U., A. Rachman & A. Dariah (Eds.). Teknologi konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbangtan, 151-188.

Sukarman, I. G., & Ritung, S. (2012). Pangan, Identifikasi Lahan Kering Potensial untuk Pengembangan Tanaman. In B. P. Pertanian, Prospek Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan (pp. 316-328). Jakarta: IAARD PRESS.

Sutedjo, M. M. (2002). Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: PT Rhineka Cipta.

Tufaila, M., Alam, S., & Leomo, S. (2014). Strategi Pengelolaan Tanah Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan. Kendari: Unhalu Press.

Widnyana, I. K. (2011). Upaya Meningkatkan Potensi Kesuburan Tanah Lahan Marginal di Kawasan Bali Timur melalui Bioteknologi Biofertilisasi Antara Mikoriza dengan Pupuk Kandang dan Kascing. . Agrimeta, 1-12.

Yuwono, N. W. (2009). Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2, 137-141

end of article

Editor: Amir Sartono
Published: Friday, 03 June 2022


0 komentar

Komentar

Recent News
General Apply

You're in the right place! Just drop us your cv. How can we help?

Validation error occured. Please enter the fields and submit it again.
Thank You ! Your email has been delivered.