ARTIKEL | Krenova Pembaharuan: (3 tahun yang lalu) | dibaca: 300 kali
Bermula ada keinginan untuk
memanfaatkan lahan kering tanpa irigasi, lerengnya curam tanahnya banyak
mengandung cadas serta solum tipis. Selama ini ditanami palawija,
seperti singkong atau ubi dan kadang budidaya melon ataupun semangka di saat
awal musim hujan. Bagaimana supaya lahan ini lebih menguntungkan
secara ekonomi dan lebih berdaya guna bagi usaha.
Untuk itu
“Bertani Dengan Hati” perlu dilakukan, salah satunya adalah budidaya tanaman
yang adaptif, produktif dan berdaya ungkit untuk pengembangan ekonomi pada
suatu kawasan. Bertani dengan Hati, artinya bertani dengan kegiatan
memilih dan memilah jenis tanaman yang baik dan sesuai untuk didayagunakan
dengan agroklimat setempat serta memperlakukan lahan dan lingkungan secara
harmoni.
Bertani
Dengan Hati perlu unit teknologi yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh
petani di lahan marginal, untuk itu perlu kreasi dan inovasi teknologi,
yang saya sebut krenova teknologi. Salah satu bentuk krenova teknologi
adalah memilih jenis tanaman yang sesuai di lahan marginal dengan input yang
minimal hasilnya maksimal.
Maka perlu
dicari jenis tanaman yang bisa tahan cekaman iklim dan sebagai konservasi
lahan serta memberi nilai ekonomi yang baik dan tanaman
tahunan supaya lebih mudah dalam budidayanya. Cepat berproduksi dan
hasilnya diminati pasar karena kualitas dan juga ada manfaatnya, mudah
dibudidayakan dengan teknologi yang sederhana. Sudah di-amati dengan seksama
bahwa tanaman tersebut adalah buah naga (Hylocereus sp.) ada yang
menyebut dragon fruit, pitaya atau pitahaya.
Persyaratan
jenis tanaman di atas bagi yang nyaris sempurna buat buah naga tersebut, ternyata
membawa konsekuensi nyata , bahwa sebelum budidaya harus pahami
karakter tanaman dan jadikan pedoman dalam bentuk SOP yang berkaitan dengan
jenis lahan dan lokasi tempat budidayanya. Keinginan sederhana Penulis jadi
tambah menarik bila ada “Penelitian kecil” yang berkaitan dengan bidang Ilmu
tanah dan Agronomi dengan dukungan Klimatologi dan Ilmu Hama Penyakit , yang
nanti dalam pemasaran hasil akan gunakan Ilmu Sosial Ekonomi, lengkap sudah
ramuan dari Fakultas Pertanian. Bertani tidak cukup dengan satu cabang ilmu
pengetahuan saja.
Lahan
marginal ada beberapa, antara lain lahan kering : berpasir , Karst dan Disposal
tambang dan lahan marginal basah : Gambut. Dari budidaya di lahan
marginal cadas kering, maka ada keinginan untuk ke lahan marginal lainnya ,
yaitu di Karst, Disposal tambang dan Gambut. Semuanya menarik untuk dipelajari
dan berdampak luar biasa.
Karena
tertarik dengan aneka rupa lahan marginal, maka Penulis sempat belajar bertani di Lembah Yordania ( Jordan Valley) pada
2012 , lokasinya ada di minus (-) 400 M dpl (dari permukaan laut) dimana
tanah dan airnya semuanya asin. Semiskin tanah di Indonesia akan masih
lebih miskin tanah di Lembah Yordania, jadi sangat beruntung bertani di manapun
pelosok Indonesia. Yordania yang awal tahun 2.000 an masih impor sayuran,
buah dan pangan lainnya. Maka sepuluh tahun kemudian dengan diketemukan cara
bertani di lahan super marginal nya, kemudian menjadi negara pengekspor
hortikultura buah dan sayuran.
Dalam upaya
menyemangati wirausaha pemula, supaya mau bertani dengan model “Bertani
dengan Hati” dalam pengembangan berani mulai dan tidak ragu ragu perlu
mantra, yaitu: Niat - Tekad - Nekat ini filosofis supaya jangan
ragu-ragu memulai dan kalau sudah mulai jangan ragu-ragu untuk maju. Dalam
filosofis Jawa: Yen wani aja wedi wedi, Yen wedi aja wani wani. Kalau
berani jangan takut-takut, kalau takut ya jangan berani berani. harus berani
sekuat mampu-nya maka akan ada hasil: Jebret, Jebret, Jebret. Mari
Bertani dengan Hati.
Pada
kawasan Asia, dikenal 2 jenis buah naga berkulit merah, yakni buah naga yang
berdaging putih (Hylocereus undatus)
dan berdaging merah (Hylocereus
polyrhizus). Sedangkan yang kulit kuning atau orange (Celenicereus megalantus) berdaging putih atau berdaging merah itu
lebih banyak dibudidayakan di Amerika latin.
Negara
yang banyak membudidayakan buah naga di Asia adalah negara Vietnam, Thailand,
Taiwan, Israel, Malaysia dan Indonesia baru-baru saja memulai. Luas lahan
produksi buah naga di Indonesia belum ada data, sedangkan
Pembungaan
dan produksi buah naga (Hylocereus sp.)
dibelahan bumi bagian selatan seperti di Yogyakarta pada bulan Oktober – Mei,
dan di bagian Australia (New South Wales) pada bulan Februari-April
Beberapa
karakter tanaman buah naga yang menjadikan bisa tumbuh baik di lahan marginal
dan menghasilkan bunga dan produksi, yaitu:
A. Tanaman Berakar Epifit:
Buah naga merupakan tanaman yang punya
akar epifit yang berfungsi untuk memanjat dan juga kemungkinan fiksasi
nitrogen. Tanaman epifit berbeda dengan parasit. Tanaman buah naga sebagai
tanaman epifit mampu berdiri sendiri, sebagai penyedia unsur hara bagi dirinya
maupun unsur hara yang tersedia dari tanaman lain, dan mampu menjadikan tiang
sebagai penyangga (bukan tanah). Sumber air dapat dimanfaatkan dari air hujan,
uap air ataupun embun. Tanaman epifit mendapatkan unsur hara dari hasil
dekomposisi seresah/batang/sisa-sisa tumbuhan. Sifat akar tanaman epifit
menyebar di permukaan.
B. Tanaman Gravitasi
/ Gravitropisme:
Buah
naga bisa disebut tanaman gravitasi, yaitu sulur tanaman akan bisa menghasilkan
bunga dan buah, bila sulur sudah menjuntai ke bawah mengarah ke bumi. Maka dari
itu buah naga perlu tiang panjatan supaya sulurnya menjuntai ke bawah dan
tanaman bisa berbuah.
C. Tanaman Hari Panjang:
Proses pembungaan pada tanaman buah naga
yaitu perubahan primodia batang tanaman pada duri tanaman pecah menjadi calon
bunga perlu pencahayaan lebih dari 14 jam dalam periode jumlah hari tertentu.
Maka dari itu tanaman buah naga memungkinkan untuk distimulus dengan penambahan
pencahayaan lampu supaya berbunga disaat tidak musim berbunga.
A. Tanaman
mudah tumbuh di lahan marginal yang unsur hara terbatas (minimal)
B. Tanaman
cepat sekali berbuah, setahun sudah bisa menghasilkan dan umur produktif
tanaman bisa 25 tahun.
C. Buahnya
banyak berkhasiat untuk kesehatan
D. Harga
jualnya relatif stabil dan relatif mahal
E. Secara
karakter tanaman dan teknis budidayanya mudah dilaksanakan walau di lahan
marginal.
Pengalaman
budidaya buah naga di lahan marginal, menjadikan bisa berkontribusi untuk
peningkatan pangan dan juga bisa memberikan wawasan bertani banyak orang.
Pemilihan
jenis tanaman yang sudah tepat untuk pengembangan di lahan marginal, yaitu
dengan tanaman buah naga (Hylocereus sp.) yang pada tahun 2008 secara legalitas didaftarkan di Kantor Pendaftaran Varietas Tanaman (PVT)
Departemen Pertanian. Setelah melalui pengujian dan sidang oleh para ahli
tanaman yang mewakili Menteri Pertanian, maka pada tahun 2010 kami mendapatkan
SK dari Menteri Pertanian, bahwa:
A. Keputusan
Menteri Pertanian, Nomor 2103/Kpts/SR.120/5/2010 tentang Pelepasan Buah Naga
Sabila Putih sebagai Varietas Unggul
B. Keputusan
Menteri Pertanian, Nomor 2105/Kpts/SR.120/5/2010 tentang Pelepasan Buah Naga
Sabila Merah sebagai Varietas Unggul
Untuk
memperkuat legalitas terhadap ke dua varietas tersebut, maka kami mintakan
Label Biru pada Benih Sebar, untuk Benih Bersertifikat dari BPSB (Balai
Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian).
Kebun
Produksi lahan marginal juga sudah ter-regristasi secara G.A.P (Good Agriculture Practices) setiap 2
tahun sekali, dan ruang kemas (packing
house) juga sudah terregistrasi dan disertifikasi. Maka dari benih tanaman,
kebun dan ruang kemas semuanya sudah legal dan terregistrasi.
Kondisi
kekurangan produksi, maka Indonesia masih banyak impor buah naga dari Vietnam
dan Malaysia. Hal ini sebetulnya bisa dikurangi importasenya bila areal
produksi ditambah dan kualitas produksinya ditingkatkan. Hal ini tidak sulit
untuk dilaksanakan, bila para pihak dan pemangku kepentingan mau memahami
tentang budidaya buah naga dengan baik dan benar dan ada semangat untuk
swasembada buah naga.
Pembeda utama
dalam mengkategorikan lahan sebagai marginal atau non-marginal adalah dari
kualitas tanah yang ada di lahan tersebut berdasarkan indikator sifat intrinsik
dan ekstrinsik. Menurut Yuwono
Secara
garis besar, lahan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu lahan subur
(non-marginal) dan lahan marginal. Menurut Sutedjo
Sedangkan
untuk lahan marginal, Yuwono
Dalam jurnal ‘Marginal
Lands: Concept, Assessment, and Management’
A. Lahan
Kritis Fisik
Kondisi lahan yang mengalami kerusakan
secara fisik, dengan ciri-ciri lahan yang menyisakan batuan induk sebagai
lapisan permukaannya sebagai hasil dari letusan gunung, banjir bandang, atau
bencana lainnya
B. Lahan
Kritis Produksi
Kondisi lahan yang dinilai dari tingkat
kesuburan menunjukkan penurunan tingkat produksi atau memiliki tingkat
produktivitas yang rendah
C. Lahan
Kritis Ekonomi
Sama seperti lahan kritis produksi, lahan
kritis ekonomi juga mengalami penurunan dalam tingkat kesuburan lahan.
Penurunan tersebut berdampak kepada ekonomi pelaku pertanian
D. Lahan
Kritis Hidrologi
Kondisi lahan sebagai media perlindungan
alam lingkungan sekitar mengalami penurunan fungsi dan ketidakmampuannya lagi
befungsi sebagai penyalur tata air
Pengelompokkan
lahan berdasarkan karakteristik lahan memfokuskan pada aspek biofisik lahan,
melihat kesamaan karakteristik dari unsur-unsur penyusunnya
A. Ikim
(keadaan
cuaca secara umum
pada suatu tempat dalam kurun waktu tertentu)
B. Hidrologi
(pergerakan, distribusi, dan kualitas air)
C. Geologi
(pembentukkan batuan)
D. Tanah
(susunan mineral dan bahan organik)
E. Topografi
(keadaan permukaan suatu tempat atau daerah)
F. Fisiografi
(segi fisik suatu tempat atau daerah)
G. Tutupan
tanah (kondisi kenampakan biofisik permukaan bumi)
Berdasarkan
karakteristiknya, secara garis besar lahan marginal terdiri dari empat jenis
lahan:
A. Lahan
kering
B. Lahan
karst
C. Lahan
gambut
D. Lahan
disposal tambang
Secara mendetil
akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memanfaatkan lahan marginal menjadi lahan pertanian yang
produktif
A. Usahatani
konservasi
Konservasi lahan adalah pengusahaan
pertanian untuk mencegah erosi, mencegah dan memperbaiki kerusakan lahan, dan
membuat keputusan mengenai tindakan-tindakan penggunaan lahan berkelanjutan
dalam waktu yang tak terbatas. Perlakuan yang diberikan terhadap suatu lahan
akan mempengaruhi keadaan tata air di lahan tersebut
B. Tata
ruang sistem usahatani konservasi
Pengoptimalan dalam pengelolaan sumberdaya
lahan dapat dilakukan dengan menentukan tata ruang pada sistem usahatani
konservasi. Ada lima faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan
konservasi lahan, yaitu: sistem usahatani (pola pertanian), prospek komoditas
yang akan dibudidayakan, erodibilitas (kepekaan terhadap erosi), kedalaman tanah,
dan kemiringan lahan. Pada lahan yang memiliki tingkat kemiringan 15%-45% dapat
ditanami tanaman tahunan (hortikultura, perkebunan, atau kayu-kayuan).
C. Pemilihan
komoditas spesifik lokasi
Dalam memilih komoditas yang sesuai dengan
lahan, ada empat faktor yang perlu diperhatikan, yaitu: syarat tumbuh tanaman,
iklim, topografi, dan karakteristik tanah. Ada berbagai kriteria dalam
pemilihan komoditas secara spesifik yang perlu dipertimbangkan sehingga sesuai
untuk pendayagunaan lahan:
a. Teknologi
budidaya yang mudah sehingga cukup memerlukan input yang rendah
b. Memiliki
resiko yang cukup kecil
c. Cepat
berproduksi dan hasil produksi tahan lama
d. Mempunyai
peluang yang baik untuk dapat dipasarkan
e. Akan
lebih baik, jika sesuai dengan minat dan keinginan petani
Membangun dan
mengembangkan sistem agribisnis di lahan marginal memungkinkan untuk menghadapi
berbagai kesulitan. Menurut Ernawanto dan Sudaryono
A. Modal
yang dimiliki petani kurang mencukupi
B. Sarana
dan prasarana wilayah kurang memadai
C. Tingginya
curah hujan, minimnya perlindungan tanah dari vegetasi permanen, dan Lereng
yang curam mengakibatkan kemampuan erosi tanah relatif tinggi
D. Kesuburan
tanah yang rendah karena kemampuan pengembalian bahan organik yang kurang,
kedalaman lapisan lahan (solum lahan) yang dangkal, dan pemakaian pupuk kimia
yang kurang tepat
E. Kematian
tanaman dan kegagalan panen adalah resiko tinggi yang diakibatkan oleh pola
hujan yang bervariasi (ketidakpastian hujan), kekeringan saat musim kemarau, erosi
saat musim hujan, dan penguasaan teknologi yang masih bersifat pemenuhan
kebutuhan sendiri (subsisten)
Lahan kering
dapat didefinisikan sebagai lahan atau hamparan yang dalam kurun waktu setahun
sebagian besar tidak digenangi atau tergenangi oleh air
Pada penelitian ‘Lahan Kering untuk Pertanian dalam
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering’, Hidayat dan Mulyani (2002) menyatakan bahwa pada umumnya
lahan kering memiliki kedalaman tanah/ solum tanah yang
dangkal dan kelerangan yang curam. Sebagian besar wilayah lahan kering berada
di wilayah Gunung (kelerangan >30%) dan berbukit (kelerengan 15-30%). Akibat
dari lereng yang curam menyebabkan lahan kering rentan terhadap erosi.
Ketersediaan air pada lahan kering juga dapat mempengaruhi usahatani, sehingga kegiatan pertanian tidak dapat dilakukan sepanjang tahun (Minardi, 2009).
Idjudin
dan Marwanto
A. Memiliki
keadaan permukaan (topografi) yang tidak datar
B. Rawan
terhadap erosi
C. Kandungan
unsur hara yang kurang memadai
D. Bergantung
kepada iklim
E. Pengelolaan
lahan yang agak sulit dikarenakan sistem usahatani yang beragam
Menurut Widnyana
Setidaknya, ada empat maksud dan tujuan dari adanya pengelolaan lahan
kering antara lain:
A. Sumberdaya alam yang terlindungi
Pada
pidatonya yang berjudul ‘Optimalisasi Pengelolaan
Lahan Kering untuk Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan’, Minardi
B. Menambah produktivitas lahan kering
Minardi
C. Menekan resiko kegagalan
Pengoptimalan
usahatani lahan kering yang tepat dapat memperbesar peluang panen sehingga
dapat menekan resiko kegagalan dengan beberapa cara, yakni dengan cara mengatur pola tanam (misal dengan tumpang
sari/tumpang gilir), memilih tanaman yang toleran terhadap cekaman biotik
maupun abiotik pada lokasi tertentu (Minardi, 2009). Pemilihan komoditas/jenis tanaman juga
mempengaruhi keberhasilan dalam pengembangan usahatani di lahan kering.
Beberapa hal yang patut diperhitungkan dalam pemilihan jenis tanaman/ komoditas:
a. Memilih komoditas yang cocok dengan
agroklimat di lahan tersebut
b. Memilih jenis tanaman yang sesuai dengan
kondisi sosial ekonomi pelaku pertanian (memiliki minat/kesenangan, teknologi
mudah, input/masukan yang rendah, dan jumlah tenaga kerja yang sesuai)
c. Searah dengan kebijakan dari pemerintah daerah setempat
d. Mendukung upaya konservasi air dan tanah
D. Meningkatkan sosial ekonomi masyarakat, khususnya pelaku pertanian
Dalam
jurnal Pemberdayaan Lahan Kering Untuk
Pengembangan Agribisnis Berkelanjutan, Irawan dan Pranadji (2002) menyatakan bahwa pemberdayaan/pengelolaan lahan kering yang tepat akan berimplikasi
terhadap pembangunan pertanian dan ketahanan ekonomi, apabila mempertimbangkan
beberapa aspek:
a.
Nilai ekonomi
akan bertambah jika lahan kering yang dimanfaatkan sebagai stabilisasi/ peningkatan
fungsi ekosistem
b.
Nilai ekonomi
yang berbasis agribisnis secara berkelanjutan jika lahan kering ditempatkan
sebagai sumberdaya strategis
c.
Lahan kering
sebagai penopang berbagai sistem subsisten masyarakat kecil/ etnis
lokal karena ketergantungannya terhadap habitat (ekosistem) tersebut
d.
Sebaran lahan
kering yang luas diperbatasan daerah (daerah yang jauh dari pusat) menjadi
peluang untuk dikembangkan lebih lanjut agar memiliki ketahanan ekonomi di
wilayahnya
Ada beberapa kendala yang dapat muncul ketika ingin
berbudidaya di lahan kering. Dari beberapa kendala yang ada, dapat diambil permasalahan
besar dan penyelesaiannya antara lain:
A. Permasalahan Ketersediaan Air
Air yang
turun melalui curah hujan di daerah lahan kering beriklim basah umumnya tidak
dapat diserap dengan baik, dikarenakan minimnya kemampuan tanah dalam mengikat
dan menahan laju aliran air permukaan. Menurut Subagyono dkk. (2004), ada sejumlah tata cara yang dapat digunakan untuk melakukan teknik
konservasi air antara lain dengan teknik pemanenan air hujan (membuat saluran
peresapan, embung, mulsa vertikal, dan sistem drainase) dan teknik pengendalian
evaporasi (menggunakan mulsa baik yang berasal dari sisa-sisa tanaman atau dari
plastik).
B. Kesuburan Tanah
Tingkat
kemasaman pH yang tinggi (pH rendah), kandungan unsur hara, kandungan bahan
organik, dan keberadaan organisme yang minim menjadi faktor pembatas di lahan
kering. Faktor pembatas menjadi kendala dalam pengelolaan di lahan kering.
Kendala tersebut dapat diatasi dengan pengaplikasian kapuran (kalsit, dolomit,
dan kapur oksida), sekam padi, abu
serbuk kayu gergajian, biomasa gulma, dan limbah pertanian yang diaplikasikan
kepada lahan untuk meningkatkan pH tanah sampai pada tingkat kemasaman normal.
Sedangkan untuk kandungan unsur hara dapat dilakukan dengan pemberian pupuk, penambahan bahan organik tanah
(Lakitan & Gofar, 2013).
Ada
beberapa kebun lahan kering yang sudah dibudidayakan buah naga, salah satunya
kebun hortikultura buah Sabila Farm yang berlokasi di Jalan Kaliurang KM 18,5,
Pakem, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta, pada ketinggian 500 M dpl dan curah
hujan 3,200 mm pertahun. Jenis tanah grumusol liat berpasir dengan topografi
berbukit terasering, pH tanah sekitar 6,0.
Lahan kering tidak ada irigasi dan penggunaan untuk palawija singkong
atau tanaman semangka dan melon pada musim tertentu.
Perbedaan budidaya tanaman buah-naga di lahan-lahan marginal ialah di persiapan lahannya. Lahan kering dan kadang berupa cadas lunak, tidak perlu di land clearing dengan alat berat ataupun ringan, karena budidaya buah naga di lahan kering hanya menggunakan media 1 m2 disekitar tiang panjatan. Jarak tanam yang digunakan 3 meter x 3 meter dan di titik tersebut dibuat lubang sedalam 50 cm dengan lebar 10 cm untuk tempat tiang panjatan.
Seluas
1 m2 keliling titik tiang lubang tanam tiang panjatan dikeruk
tanahnya sedalam 20 cm dan diisi dengan bahan yang baik untuk pertumbuhan dan
produksi, yaitu:
A. Sekam
bakar: 2 kg
B. Kapur
dolomit: 2 kg
C. Pupuk
kandang: 10 kg – 20 kg
D. Pupuk
NPK: 100 gr
Semua bahan diaduk dengan tanah sekitar
tiang panjatan. Setelah itu didiamkan selama 1–2 minggu agar lahan beradaptasi
(sejuk) dan tanaman akan tumbuh baik.
Tiang panjatan
di lahan kering bisa dengan:
A. Beton
bertulang ukuran diameter 10 cm x 10 cm dan panjang 200 cm.
B. Kayu
hidup dari batang/cabang tanaman pohon kuda (Lannea coromandelica), jaranan, kayu kudo, kayu Jawa, kedondong
laki dan sejenisnya. Panjang kayu hidup ± 1,8 m.
Benih tanaman biasanya berupa stek dari batang tanaman buah naga, panjang ± 35 cm dan sudah di aklimatisasi. Stek benih bisa disemai dengan polybag ukuran 10 cm x 15 cm terlebih dahulu agar tumbuh akar dan tunas, atau langsung ditanam di lapangan dengan resiko tumbuh kurang merata, walau nantinya akan tumbuh seragam juga.
Satu
tiang panjatan ditanam empat stek, menanamnya cukup sedalam 5 cm saja dan empat
stek diikat dengan tali rafia ke tiang supaya kokoh menangkup tiang. Tunas
biasanya akan tumbuh setelah 35 hari dari tanam, dan jika stek yang sudah
disemai yang digunakan, maka pertumbuhan tanaman akan lebih cepat.
Tunas yang
tumbuh pada satu stek bisa banyak, akan tetapi dipelihara satu tunas dan pilih
yang menyenangkan dihati sedang lainnya di pangkas saja. Tunas yang tumbuh ini
dipelihara setahap demi setahap dan diikat dengan tali rafia ke tiang, dirawat
terus sampai ke ujung tiang panjatan. Setelah ke empat tunas tumbuh sampai di
atas ujung tiang panjatan, maka diikat dengan tali plastik stripping lebar 3 cm. Tali akan kuat untuk bertahan belasan tahun
dan tidak perlu ada sulaman atau penggantinya.
Tunas
yang tumbuh bisa 2-3 cm setiap hari dan dijaga supaya tidak stres. Tanaman yang
stres akan nampak ada pengecilan tunas dan bentuk bisa meramping. Stres tanaman
umumnya karena terganggu kebutuhan air tanaman atau ada hara tanaman tertentu
yang berkelebihan, misal almunium, besi atau mangan dan lainnya.
Perawatan
pemupukan dilakukan dengan pemberian pupuk ulangan setiap tiga bulan sekali.
Setiap tiang tanaman berupa:
A. Pupuk
kandang: 5 -10 kg
B. Kapur
dolomit: 2 kg
C. Pupuk
NPK: 100 gram
Pemberian pupuk daun juga
disarankan, jenisnya yang biasa dijual di toko pertanian. Jangan menggunakan
perangsang buah, karena buah naga berbunga bukan karena bahan kimia, tapi
perlunya stimulus dengan penambahan cahaya. Perangsang buah untuk menjadikan
buah jadi besar dan kulit menebal juga jangan digunakan, sebab rasa buah akan
tidak enak, tidak manis, dan kulit buah jadi tidak berwarna alami.
Hama
dan penyakit tanaman buah naga ada banyak, akan tetapi pada umumnya buah naga
tahan terhadap serangan hama penyakit. Ada penyakit yang perlu diperhatikan,
yaitu kanker batang atau kudis yang disebabkan oleh cendawan. Cendawan ini
sangat cepat menyebar dan sulit dikendalian atau sulit diobati untuk menjadi
sembuh. Obat yang biasa digunakan adalah bubur kalifornia yang merupakan paduan
dari bahan: kapur tohor, belerang dan prusi (CuSO4.5H2O).
Pada
kondisi normal, pertumbuhan buah naga sangat cepat, karena kombinasi sumberdaya
lahan, perawatan dan agroklimat yang saling mendukung. Cahaya matahari yang
langsung dan hara tanaman cukup serta kebutuhan air tercukupi, maka jadi ideal
untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman buah
naga ini adalah tumbuhan yang saat melakukan fotosintesis menggunakan lintasan crassulacean acid metabolism (CAM) untuk
meminimalkan laju fotorespirasi.
Agar
tanaman bisa berbunga, maka buah naga yang tumbuh di lahan kering mempunyai
sulur tanaman yang menjuntai ke arah bumi dan mendapat stimulus cahaya. Duri
yang ada di punggung sulur tanaman akan terstimulus dan muncul kuncup bunga.
Umumnya tanaman akan terkondisikan untuk bisa berbunga pada umur tanaman 10
bulan sampai dengan 12 bulan sejak tanam.
Buah
naga berbunga dikarenakan tergantung dari durasi pencahayaan matahari, maka
musim berbuah di belahan bumi utara dan bumi selatan akan berbeda. Sedangkan
pada equinok khatulistiwa akan mendapat pencahayaan yang cukup selama 12 bulan
bisa potensi untuk berbunga sepanjang tahun.
Pecahnya
duri dan tunas bunga muncul sampai antesis bunga mekar perlu waktu 20 hari dan
dari bunga mekar menjadi buah siap masak fisiologis perlu waktu 33 hari. Maka
tanaman buah naga adalah tanaman buah yang paling cepat bisa dipetik hasilnya.
Potensi
produksi buah naga di lahan kering sekitar 20 ton per hektar per tahun.
Sebelum memahami definisi dari lahan karst, sangat
menarik untuk mengetahui sejarah kemunculan kata tersebut. Menurut Moore and Sullivan
(1978) dalam Adji dkk
Dalam prosiding
seminar yang berjudul ‘Kawasan Karst Dan
Prospek Pengembangannya Di Indonesia’, Adji dkk
Untuk definisi
dari lahan karst itu sendiri, menurut Ford dan Wiliam (1996) dalam Adji dkk.
Ford dan Willian (1996) dalam Adji dkk
A. Solum tanah tipis yang hanya pada tempat
tertentu
B. Terdapat cekungan-cekungan tertutup (dolin)
C. Drainase permukaan yang langka
D. Memiliki sistem drainase bawah tanah
Potensi yang ada di lahan Karst menurut Adji dkk. (1999) dapat dijelaskan dalam potensi
sumber daya alamnya. Sumber daya alam karst yang ada antara lain adalah:
A. Sumber daya mineral
B. Sumber daya lahan
C. Sumber daya air
D. Sumber daya hayati
E. Sumber daya lansekap
Sumber daya alam yang berkaitan dengan
pertanian adalah sumber daya lahan dan air. Sumber daya lahan di lahan karst
memiliki potensi dan nilai manfaat bagi penduduk setempat sebagai sumber
penghasil pangan sehari-hari walaupun cakupannya tidak begitu besar.
Dolin atau lembah-lembah di daerah karst memiliki potensi
yang cukup tinggi, dan lebih baik lagi ketika proses fluvial mulai bekerja,
disamping proses solusional. Lembah-lembah atau dolin memiliki testur tanah
lempungan, warna kemerahan, dan kedalaman sedang. Daerah lembah yang ada di
kawasan karst dapat dimanfaatkan untuk pertanian yakni tanaman semusim lahan
kering, sawah tadah hujan, bahkan cocok untuk tanaman jati. Komoditas lain yang
dapat diusahakan oleh masyarakat yakni tanaman buah
Ruswanto et.al, (2008) dalam Aidin
Menurut Adji dkk.
Penambangan yang terjadi di lahan karst pada umumnya
dilakukan sangat intensif untuk kegiatan industri, baik dari skala kecil,
sedang, hingga besar (contohnya pabrik semen). Aktivitas penambangan yang
dikerjakan sebagian besar pada batuan gamping yang mengakibatkan terkikisnya
kubah-kubah karst. Permasalahan yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan
menyebabkan erosi dan sedimentasi, kesuburan tanah dan indeks keanekaragaman
hayati yang menurun, bentang alam/lahan yang berubah, dan tercemarnya udara dan
perairan.
B. Penebangan Vegetasi
Vegetasi-vegetasi yang ditebang di lahan karst
akan menimbulkan dampak pada lingkungan, yakni kadar CO2 dan permeabilitas
tanah di permukaan (top-soil) yang
meningkat, sedangkan permeabilitas sub-soil dan penguapan (evapotranspirasi) yang menurun. Dampak lebih besar lagi yang
ditimbulkan dari penebangan vegetasi adalah gangguan pada tanah. Penurunan
fungsi tanah sebagai pengikat dalam menjaga kestabilan lereng diakibatkan dari
pembusukan akar-akar pohon. Selain itu, tingkat erosi permukaan yang sangat
tinggi memberikan efek lapisan tanah yang hilang.
Ada tiga lokasi
lahan karst yang sudah digunakan untuk budidaya buah naga, yaitu di Pantai
Parang Racuk, Kanigoro, Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul D.I.Yogyakarta, dan
Girijati, Purwosari, Kabupaten Gunung Kidul, D.I.Yogyakarta serta di Penfui
Timur, Kupang Tengah , Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Topografi
lahan karst umumnya berbukit dan letak batuannya tidak teratur, maka ada dua
cara dalam berbudidaya tanaman buah naga di lahan karst, antara lain cara
pertama lahan seperti keadaan alami yang ada dan cara kedua yaitu lahan dilakukan perataan, dibuat seperti
kolam ikan dan kemudian dibagian yang cekung diisi dengan tanah mineral.
Tiang
panjatan harus terbuat dari beton bertulang panjang 2 m dan sisi-sisinya 11 cm.
Tingkat kekerasan setidaknya K-175 karena lahan karst termasuk lahan yang keras
secara batuan ataupun keras secara agroklimatnya. Jarak tanam tetap 3 meter x 3 meter bila pas di titik tanam
tiang panjatan ada batu besar dan keras sulit untuk budidaya tanaman, maka bisa
menggeser letak titik tanam atau sama sekali tidak ditanami.
Pemasangan
tiang beton dengan menggunakan bor drill
untuk pemecah aspal ataupun beton, dimana sumber listrik dari genset portabel
yang dibawa ke lapangan. Hal ini mudah dilakukan, dan tiang beton masuk 30 cm –
50 cm sudah sangat kokoh menancap. Pada saat musim hujan sebaiknya dilakukan
penanaman atau di lokasi dibuatkan embung penampungan air yang sumbernya dari
mata air yang diperoleh dari mengebor tanah dan ketemu sumber air yang dangkal.
Bahan dasar untuk pertumbuhan tanaman pada dasarnya sama
dengan budidaya buah naga di lahan kering, yaitu:
A. Pupuk
kandang: 10 kg – 20 kg
B. Sekam
bakar: 2 kg
C. Pupuk
NPK: 100 gram
Campuran ini
diletakkan di sekeliling tiang panjatan, diaduk merata dengan sedikit tanah
yang ada, dan diamkan dahulu 1-2 minggu.
Pada lahan
karst solum tanahnya sangat tipis, maka bibit stek tanaman sebaiknya sudah
disemai dahulu di polybag ukuran 10
cm x 15 cm dengan campuran cocopeat
dan tanah serta pupuk kandang yang sudah terfermentasi.
Penanaman
dalam satu tiang digunakan empat stek dan dipilih tinggi tunas stek yang sama
tinggi supaya pertumbuhannya merata dalam satu tiang. Empat stek diikat ke
tiang dengan rafia, dan bila banyak tumbuh tunas, maka dalam satu stek
dibiarkan satu tunas saja hingga sampai di ujung tiang.
Setiap
pertumbuhan tunas menempel di tiang, bisa diikat dengan tali rafia yang lunak
dan mudah rusak, agar tunas tidak terluka, dan pengikatan akan merangsang
pertumbuhan akar udara (epifit) yang bermanfaat untuk tanaman. Setelah tunas tumbuh lebih panjang dari
tiang, maka akan melengkung ke arah bawah (gravitropisme) saat itulah tunas
yang sudah menjadi sulur tanaman akan membentuk bunga bila dimusim produksi
atau akan membentuk tunas (cabang) tanaman yang muncul dibanyak duri pada
lengkungan sulurnya.
Pemupukan
susulan lebih mudah yaitu setiap tiga bulan sekali yaitu diberikan pupuk
kandang sapi atau kambing 10 kg – 20 kg dan pupuk NPK 100 gram pertiang
tanaman. Penanaman dilakukan di awal musim hujan, maka selama enam bulan sudah
cukup airnya dan tanaman sudah bisa tumbuh bertahan menunggu kurang lebih enam
bulan lagi untuk musim hujan yang akan datang.
Pada
budidaya buah naga di lahan karst terdapat kendala utama yakni penyiraman
tanaman di musim kemarau. Disaat penghujan maka jumlah air siraman dari hujan
sudah mencukupi, sedang pada musim kemarau kadang bisa mengandalkan embun
ataupun uap air yang dibawa angin laut ke daratan. Sumber air di lahan karst
ada tiga antara lain dari sumber mata air, sungai di bawah tanah, sumur, gua
atau luweng.
Lokasi
lahan karst di Kupang, sumber air diperoleh dengan cara membuat embung dan
penampungan dengan dinding kolamnya dibuat dari semacam plastik mulsa yang
tebal dan tahan cuaca. Sumber air diambil dari membuat sumur bor tanah
kedalaman hanya ± 50 m. Sumber air dari embung ini selain untuk mengairi
budidaya tanaman hortikultura seperti sayuran, buah serta ternak, juga bisa
untuk membantu masyarakat penyediaan air minum dan MCK.
Hama
dan penyakit di lahan karst sama saja dengan di lahan kering, yaitu adanya kutu
putih (Bemisia tabaci) yang
berasosiasi dengan semut hitam. Kutu putih merupakan vector virus yang
merugikan, dan eskresi kutu putih berupa madu akan mengakibatkan tumbuhnya embun jelaga yang bisa mengurangi efek
fotosintesa pada periode tertentu.
Penyakit
utama pada buah naga yaitu:
A.
Busuk coklat, layu
fusarium oleh jamur Fusarium oxysporium
B. Busuk
kuning, disebabkan bakteri Erwinia
sp.
C. Antraknosa,
disebabkan jamur Colletotrichum sp.
D. Mosaik,
diduga disebabkan Virus Cactus X
E. Puru
akar, disebabkan nematoda Meloidogyne
sp.
F.
Kudis karena jamur Pestalosiopsis sp.
Sebaran lahan
karst di Indonesia ada di utara, tengah dan selatan khatulistiwa. Maka musim
berbuahnya mengikuti pergerakan matahari dari utara ke equinox dan ke selatan
kemudian kembali equinox. Saat garis bujur ada edar matahari, maka saat itulah
musim berbunga dan produksi buah naga.
Lahan gambut didefinisikan sebagai ekosistem yang memiliki
beragam fungsi mulai dari pengaturan hidrologi, lingkungan, keanekaragaman
hayati, dan ekonomi (Sukarman & Ritung, 2012). Menurut Najiyati dkk.
Sependapat dengan pernyataan tersebut,
Noor dkk.
Tanah gambut memiliki sifat yang relatif kurang subur,
kering tak balik (irreversible), dan rentan terhadap perubahan (fragile). Pada lahan gambut, ada dua
lapisan kondisi tanah yang membentuknya, yakni lapisan atas (tanah gambut) yang
memilki ketebalan lebih dari 50 cm, dan lapisan bawah (tanah aluvial) yang
kedalamannya bervariasi
Najiyati, dkk.
A.
Sifat
Fisik antara lain meliputi tingkat kematangan gambut, warna, bobot jenis,
kapasitas menahan air, kering tak balik (irreversible), daya hantar
hidrolik, daya tumpu, penurunan permukaan tanah, dan mudah terbakar.
a.
Tingkat
kematangan gambut
Kematangan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim, susunan
bahan organik, aktivitas organisme, dan waktu. Tingkat kematangan ditandai
dengan penurunan dan perubahan warna gambut. Gambut yang telah matang, pada umumnya
memiliki tekstur
lebih halus dan lebih subur, dan sebaliknya jika belum matang akan lebih kasar
dan kurang subur.
b.
Warna
Warna gelap pada gambut menandakan gambut semakin matang,
umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut akan semakin gelap jika dalam
keadan basah.
c.
Bobot
jenis
Gambut memliki berat jenis cenderung lebih rendah daripada tanah
aluvial. Berat jenis gambut akan
semain besar jika dalam keadan yang semakin matang.
d.
Kapasitas
menahan air
Gambut memiliki porositas yang cukup tinggi, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap air yang sangat besar. Kemampuan gambut
dalam hal menahan air (reservoir) memberikan efek dapat melepaskan air
saat musim kemarau dan menahan banjir saat hujan.
e.
Kering
tak balik (irreversible)
Penurunan air permukaan akan menyebabkan
kekeringan yang ekstrim, dan membuat gambut tidak dapat menyerap air kembali
(karena sifatnya yang kering tak balik).
f.
Daya
hantar hidrolik
Gambut mempunyai daya hantar hidrolik
vertikal (ke atas) yang lambat, dan daya hantar hidrolik secara horisontal (mendatar)
yang cepat. Hal itu menyebabkan walaupun lapisan bawah gambut basah, namun tetap sering mengalami kekeringan di
lapisan atas.
g.
Daya
tumpu
Gambut mempunyai daya tumpu yang rendah karena memiliki ruang pori yang cukup besar, sehingga bobotnya ringan dan kerapatan tanahnya rendah.
h.
Penurunan
permukaan tanah
Gambut yang direklamasi akan mengalami penurunan tanah akibat
berkurangnya kandungan air dan proses pematangan gambut.
i. Mudah terbakar
Lahan gambut cenderung mudah terbakar karena kandungan bahan
organik yang tinggi dan memiliki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan
daya hantar hidrolik vertikal yang rendah.
B. Sifat Kimia berkaitan dengan kesuburan tanah
gabut. Potensi kesuburan alami yang lebih baik dipengaruhi oleh air tanah dan
sungai, dibandingkan dengan yang hanya terpengaruhi ole air hujan. Tanah gambut
pada umumnya memiliki tingkat kesuburan yang rendah, pH (kemasaman) yang
rendah, ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang rendah, mengandung
asam-asam organik yang beracun, serta Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang tinggi
namun Kejenuhan Basa (KB) yang rendah. Kesburuan tanah gambut dipengaruhi oleh
ketebalan gambut, bahan asal, kematangan dan kualitas gambut, kondisi di bawah
permukaan gambut, dan kualitas air.
Faktor pembatas yang terdapat di lahan gambut menyebabkan
terbatasnya jenis tanaman yang sesuai untuk dibudidayakan. Faktor pembatas
tersebut antara lain tingkat pematangan gambut, ketebalan tanah gambut, daya
dukung tanaman, sistem drainase, dan kandungan asam organik yang tinggi. Akibat
dari faktor pembatas tersebut, lahan gambut lebih cocok untuk komoditas
hortikultura (sayur dan buah), dan tanaman tahunan. Mengingat sifatnya yang
rentan terhadap perubahan, maka pengelolaan dan pemanfaatan perlu diperhatikan
dengan baik dan mengikuti tingkat kesesuaian lahan
Menurut Noor dkk.
A. Gambut berketebalan dangkal (50–100 cm) cocok untuk tanaman pangan
B. Gambut berketebalan sedang (100–200 cm) cocok untuk sayuran dan
hortikultura
C. Gambut berketebalan dalam (200–400 cm) cocok untuk perkebunan dan
budidaya terbatas
D. Gambut berketebalan sangat dalam (>400 cm) cocok untuk kawasan
konservasi/lindung
Maka, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan
lahan gambut untuk pertanian khususnya tanaman buah cocok pada lahan dengan
ketebalan gambut berkisar 100-400 cm.
Najiyati dkk (2005) menyatakan bahwa potensi lahan
gambut untuk usaha di bidang pertanian masih cukup baik, namun masih banyak
kendala yang menyebabkan tingkat produktivitas lahan optimal. Ada pertimbangan
pelaku pertanian dalam memilih komoditas tanaman (khususnya tanaman tahunan)
sebagai berikut:
A.
Input
yang tidak terlalu besar (dalam hal tenaga kerja dan biaya) terutama setelah
tanaman menghasilkan
B.
Resiko
kegagalan yang relatif lebih kecil dibandingkan tanaman semusim
C.
Daya
konservasi tanaman tahunan yang lebih besar dibandingkan tanaman semusim,
karena pembukaan lahan yang hanya 1 kali dilakukan (mengurangi pembakaran
hutan), tajuk tanaman yang mampu menutup permukaan tanah sepanjang tahun dan
perakaran tanaman yang mampu mengikat tanah untuk mencegah/mengurangi
terjadinya erosi
Pembangunan usaha pertanian di lahan
gambut tidak selalu berjalan dengan lancar, sebagian menyisakan degradasi pada
lahan gambut, yang tertutupi oleh semak belukar dan dipengaruhi oleh saluran
drainase. Gambut yang berfungsi untuk menyimpan karbon, air, dan konservasi
keanekaragaman hayati mengalami penurunan. Dariah dan Maswar (2016) menambahkan
bahwa proses degradasi fungsi lahan gambut diawali dari penebangan vegetasi
alami dan proses drainase. Menurut Agus dkk.
A. Dekomposisi dari aktivitas mikroba
Proses dekomposisi tidak
berjalan seperti kondisi alamiahnya. Menurut Chimner and Cooper (2003) dalam Dariah dan Maswar (2010), dekomposisi yang secara alami
bersifat anaerob, kemudian berubah menjadi aerob. Hal ini terjadi karena proses pembuatan drainase
sehingga mengakibatkan oksigen menembus profil gambut. Perubahan
kondisi tersebut membuat seresah dan material gambut mengalami dekomposisi yang
lebih cepat. Dekomposisi aerob lebih cepat dibandingkan dekomposisi anaerob.
Setelah bakteri melakukan dekomposisi gambut, maka karbon (C) yang tersimpan
dalam gambut akan dilepaskan/ teremisi ke udara dengan bentuk
karbondioksida (CO2).
B. Kebakaran
Kebakaran pada lahan gambut
menjadi sumber dari masalah lain, antara lain kesehatan. Kabut asap yang dihasilkan
mengganggu aktifitas darat, laut, dan udara.
Lahan gambut yang mengalami degradasi
dapat diperbaiki melalui sistem lahan pertanian. Lahan pertanian yang sudah
dikembangkan perlu dipertahankan dan diintensifkan (peningkatan produksi) agar
emisi CO2 dapat menurun, serta terjaganya keseimbangan fungsi lingkungan dan
ekonomi
Agus dkk
Sudah ada
beberapa lokasi lahan gambut yang digunakan untuk budidaya buah naga, seperti
di Jambi, Riau di Pulau Sumatra, Pontianak di Kalimantan Barat, sekitar
Pangkalan Bun dan Panglangkaraya, Pulang Pisau dan Sampit, Kalimantan
Tengah, dan Kalimantan Timur. Penulis
belum mendengar ada budidaya buah naga di gambut Papua.
Kelompok
Tani “Mekar” di Parit Lurah, Desa Peniti Besar, Kecamatan Segedong, Kabupaten
Pontianak ada budidaya buah naga varietas Sabila Putih (Hylocereus undatus) dan varietas Sabila Merah (Hylocereus polyrhizus), luas 20 hektar. Pada tahun 2013 -2015
penulis sebagai motivator dan penasehat teknis budidaya buah naga varietas
Sabila Merah dan varietas Sabila Putih pada kelompok tani tersebut.
Menurut (Sukarman & Ritung, 2012), dalam mengoptimalkan kemampuan produksi di lahan gambut
perlu adanya evaluasi mengenai kesesuaian lahan, tanpa berefek kepada fungsi
lingkungan lahan gambut. Kesuaian pada lahan gambut antara lain:
A. Karakteristik
yang ada pada lahan gambut
B. Syarat
tumbuh tanaman
C. Teknologi
yang tepat atau sesuai dan mudah diterapkan.
Pada
lokasi gambutnya dangkal kurang dari 3 meter, maka bisa dikatagorikan gambut
yang relatif lebih subur dan bisa untuk budidaya tanaman pangan dan
hortikultura buah. Mari, saya ceritakan banyak hal yang menarik dan banyak ilmu
didapatkan.
Ada dua macam
tiang panjatan yang bisa digunakan, yaitu : tiang kayu ulin dan tiang beton
bertulang. Karena mendapatan kayu ulin
sangat sulit, maka diputusan menggunakan tiang panjatan dari beton bertulang
dengan ukuran: 10 cm x 10 cm dan panjang 4 meter. Secara pemikiran, bahwa
gambut dangkal di Kabupaten Pontianak ini kurang dari 3 meter, maka tiang beton
yang dibuat sekitar 4 meter, dengan maksud 2 meter masuk ke gambut yang basah
dan 2 meter di permukaan untuk budidaya. Pembuatan tiang beton jauh dari lokasi,
sebab perlu tempat tanah mineral yang bisa kuat untuk pengecoran. Ada dua
kendala besar dalam penanaman tiang beton ini:
A. Pembuatan
tiang beton sepanjang 4 meter dengan diameter 10 cm x 10 cm ini tidak mudah
hampir mustahil. Tiang mudah patah, apalagi diangkat dengan tenaga manusia dan
diangkut jauh ke pedalaman dengan perahu kelotok lewat sungai di rawa-rawa.
B.
Penancapan tiang beton
setinggi 4 meter dan diamater 10cm x 10 cm itu sangat sulit sekali teknisnya,
bahkan mustahil. Sebab di dalam gambut, banyak kayu terbakar masa lalu, hal ini
menjadi penghalang ketika tiang dimasukan ke dalam gambut. Tiang banyak yang
patah jadi dua, dan justru ini hikmahnya. Tiang beton yang patah sepanjang ± 2
meter, ketika dimasukan ke gambut 50 cm pun ternyata bisa berdiri kokoh tidak
mudah roboh. Maka diputuskan gunakan tiang beton bertulang diameter 10 cm x 10
cm dan Panjang cukup 2 meter. Mudah sekali pelaksanaan dalam penanamannya.
Budidaya
buah naga di lahan gambut, tidak ada persiapan lubang tanam, tidak ada penyemaian
bibit stek tanaman, semuanya jadi lebih hemat dan praktis. Kegiatan yang berat
adalah persiapan kebun agar ada jalan yang bisa dilalui orang untuk kerja dan
pembuatan parit-parit.
Lahan
kebun dibuat parit-parit : primer, sekunder dan tersier untuk mengontrol
permukaan air di kebun agar di parit tersier tinggi air maksimum 20 cm dan minimum
60 cm dari permukaan. Pada pengaturan permukaan air tanah inilah inti dan
teknis penting yang mekanismenya harus dipahami oleh yang terlibat dalam
budidaya buah naga di lahan gambut ini.
Pupuk
dasar yang dilakukan hanyalah pemberian pupuk NPK 100 gram per tiang tanaman.
Itupun seharusnya cukup dengan pupuk ZA dan TSP saja, sebab belakangan akan
ketahuan bahwa kandungan K di lahan gambut banyak. Tidak perlu pupuk organik,
sebab bahan organik di gambut banyak sekali, dan pH tanah 4,2 tidak perlu
dinaikan dengan pemberian kapur.
Lokasi
penanaman ada di garis khatulistiwa Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, maka
tanaman buah naga mulai berbunga setelah sulur mulai mengarah ke bumi
(gravitropisme) pada 8 bulan setelah tanam dan buah bisa dipetik pada 10 bulan
setelah tanam, sangat cepat sekali.
Pengecekan
buah dengan refractometer bahwa kemanisan buah produksi lahan gambut Pontianak
terukur 21 Brix! Sangat manis sekali. Gambaran buah naga yang ditanam di tanah
mineral lahan kering Kebun Sabila Farm di Pakem, Sleman, D.I. Yogyakarta
tingkat kemanisannya 16 Brix dan sudah dianggap matang manis.
Pada dasarnya,
lahan disposal tambang adalah lahan yang sebelumnya digunakan sebagai area
tambang dan setelah selesai penggunaannya, lahan tersebut digunakan menjadi
lahan pertanian atau bisa disebut sebagai revegetasi. Menurut keputusan menteri
kehutanan dan perkebunan No. 146 tahun 1999, revegetasi didefinisikan sebagai
usaha penanaman kembali pada lahan bekas tambang.
Menurut
Hermawan
Pada kegiatan pertambangan, sumberdaya yang diambil umumnya adalah batu bara, semen, nikel, emas,
timah, dan lainnya. Keadaan lingkungan dan muka bumi akan berubah, tergantung pada proses saat
pengambilan bahan tambangnya. Kondisi setelah penambangan akan merusak kondisi
dalam tanah antara lain menurunkan produktivitas dan mempengaruhi fungsi
hidrologis
Dalam jurnal yang berjudul Pengelolaan Lansekap Lahan Bekas
Tambang: Pemulihan Lahan dengan Pemanfaatan Suberdaya Lokal (In-Situ), Erfandi
Kondisi lahan bekas tambang menyebabkan penurunan kualitas lapisan
atas tanah dengan ditandai perubahan struktur tanah, percepatan erosi tanah,
turunnya pH tanah. Lapisan tanah atas yang hilang beberapa sentimeter
menyebabkan penurunan produktivitas tanah. Lahan bekas penambangan batubara
juga menyebabkan tanah menjadi peka terhadap erosi akibat dari menipisnya
lapisan atas permukaan tanah.
B. Kepadatan Tanah
Kepadatan
tanah yang terjadi dari proses penambangan membuat kondisinya semakin padat.
Artinya tingkat kepadatan tanah pada level ini memiliki kemampuan yang rendah
untuk tanaman dapat hidup di lahan bekas tambang. Perlu adanya reklamasi
melalui penambahan vegetasi pada jangka waktu tertentu untuk dapat menurunkan
kepadatan tanah
C. Kesuburan Tanah
Kondisi
lahan bekas tambang memiliki kandungan pH yang lebih rendah dari lahan sebelum
proses penambangan. Kisaran pH antara 2,2-3,5 diakibatkan dari akumulasi pirit
yang dihasilkan dari karbonat (Ca/MgCO3) yang tidak melapuk. Tingkat kesuburan di lahan disposal
tambang dapat dikatakan rendah, karena perbubahan ketersedian unsur hara makro
dan mikro, serta banyaknya kandungan logam yang terkandung dalam tanah.
D. Mikroorganisme Tanah
Menurut
Ghose (2005) dalam Erfandi
Pemanfaatan lahan disposal tambang dapat dilakukan dengan
reklamasi melalui revegetasi. Tujuannya adalah untuk menjadikan kawasan yang rusak
atau kurang manfaatnya menjadi kawasan yang lebih baik dan bermanfaat. Menurut
Maharani (2010) dalam Setyowati dkk. (2017) dalam revegetasi terdapat
kriteria dengan pertimbangan menyesuaikan dengan kondisi lahan bebas tambang,
yakni:
Setidaknya, ada
dua jenis kendala yang memungkinkan untuk dialami dalam berbudidaya di lahan
disposal tambang, yaitu kendala dari tanah itu sendiri dan kendala untuk
tanaman yang akan ditanam di lahan tersebut. Pertama, kendala dari tanah itu
sendiri. Menurut Dariah dkk.
A. Limbah tailing
Limbah tailing adalah salah satu limbah
sisa pengolahan pertambangan. Menurut Pohan dkk.
B. Tercampurnya
tanah pucuk dengan bahan galian
Sebagian besar, tanah pucuk (tanah paling
atas) tidak dipisahkan dengan bahan galian dibawahnya
C. Erosi
dan aliran permukaan yang tidak terkendali
Lahan tidak bervegetasi dengan bentuk
permukaan yang tidak beraturan adalah salah satu ciri khas lahan bekas tambang
yang belum direklamasi. Tanah pucuk yang bercampur dengan bahan galian secara
alami mengalami rusaknya saluran drainase. Pada kondisi ini, tanah menjadi
mudah tererosi, baik karena aliran permukaan yang tidak dapat dikendalikan
maupun oleh curah hujan secara langsung.
D. Pencemaran
logam berat
Menurut Dariah dkk.
Kendala
kedua adalah dari kemampuan tanaman untuk tubuh di lahan disposal tambang.
Menurut Hermawan
Beberapa lahan
disposal tambang batubara yang sudah ditanami dengan tanaman buah naga antara
lain dilokasi:
A. Desa
Asam Asam, Sarang Halang, Kecamatan Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan
Selatan
B. Senakin,
Kelumpang Tengah, Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan
C. Beberapa
lokasi lain yang menanam buah naga dalam skala luas ± 9 hektar.
Tiang
panjatan ada 2 tipe yaitu beton bertulang diameter (10 cm x 10 cm x 200 cm) dan
kayu ulin dengan diamater (5 cm x 10 cm x 200 cm). Tiang panjatan dari kayu
ulin lebih rawan pencurian, maka dipilih ulin yang kualitas rendah tidak baik
untuk buat rumah. Kayu ulin lebih praktis dan relatif murah daripada beton
bertulang. Jarak tanam: 3 m x 3 m.
Kendala
di lapangan bahwa disposal juga masih ada batuan yang kurang menunjang
pertumbuhan tanaman, misal adanya batuan pirit. Cara mengatasinya dengan
membuat kondisi 1 m2 sekitar tiang panjatan dibuatkan lubang sedalam
30 cm dan dimasukan bahan-bahan yang menunjang pertumbuhan tanaman, misal pupuk
kandang, bahan organik dan tanah mineral yang tidak mengandung pirit.
Pertumbuhan
tanaman bisa cepat dan karena terletak di garis khatulistiwa, maka tanaman bisa
berbuah sepanjang tahun. Kualitas buah baik dan sangat layak untuk dikonsumsi.
Usia tanaman 9 bulan sudah bisa menghasilkan buah. Produktivitas sekitar 10 ton
per hektar per tahun.
Tanaman buah naga yang pernah di coba budayakan di lahan marginal,
mempunyai kharakter baik, yaitu tahan terhadap cekaman iklim dan juga bertahan
berproduksi baik dari segi kuantitas maupun kuantitasnya.
Buah naga di lahan kering, produksi bisa 20 ton per hektar per tahun
dan masih bisa ditingkatkan lagi bila diberikan pencahyaan yang sesuai secara
tehnis untuk stimulus berbunga, dan juga penambahan hara secara tepat.
Lahan krast yang banyak bebatuan malah mempunyai potensi baik untuk
memproduksi pangan tanaman hortikultura buah dengan krenova tehnologi yang
tepat. Produksi bisa mencapai 20 ton per hektar per tahun.
Penanaman buah naga di lahan gambut dangkal, banyak mendapatkan ilmu
dan pengalaman, harus bagaimana mengembangan gambut untuk menjadi idola dalam
memproduksi pangan khususnya tanaman hortikultura buah.
Kualitas buah naga di lahan gambut yang masam pH 4,2 lebih manis dan
renyah daripada Buah naga di lahan
kering dengan pH 6,0. Dapat disimpulkan bahwa tingkat kemasaman tanah tidak
berpengaruh terhadap tingat kemanisan buah.
Budidaya buah naga dilahan disposal tambang, sangat memungkinkan untuk
tumbuh baik selama terjaga bahan organic dan juga menghindari ganguan unsur
racun buat tanaman. Hasil produksi cukup baik dan citarasa buah nya lebih manis
daripada yang di jual secara umum.
Budidaya tanaman pioneer seperti buah naga di lahan marginal perlu dikembangkan
dan terus diperbaiki krenova tehnologinya supaya lebih efisien dan berdaya
ungkit untuk mengembangkan ekonomi di lokasi kebun dan punya daya angkat untuk
pengembangkan rekreasi wisata kebun dengan pelatihan budidaya tanaman.
(Penulis : Dr.(HC) Ir. M.Gunung Soetopo )
Adimihardja, A., Amin, L. I., & Djaenudin. (2000). Sumberdaya
Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. In Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian.
Adji, T. N., Haryono, E., & Woro, S. (1999). Kawasan Karst Dan
Prospek Pengembangannya Di Indonesia. Seminar PIT IGI di Universitas Indonesia.
Jakarta.
Agus, F., Gunarso, P., & Wahyunto. (2016). Dinamika Penggunaan
Lahan Gambut. Dalam: Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, Karakteristik, dan
Potensi Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian.
Aidin, A. (2017). Identifikasi dan Arahan Pemanfaatan Kawasan Eko
Karst di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep. Makassar: Univesitas Islam Negeri
Alauddin.
Anonim. (2014). Council of Agriculture, Executive R.O.C. Retrieved
from Agricultural Statistic Yearbook: https://eng.coa.gov.tw/ws.php?id=2505449
Astuti, S., & Suryoatmojo, H. (2002). Pembangunan kawasan
Gunung Kidul dengan konservasi lahan yang berwawasan lingkungan. Makalah dalam
lokakarya pengembangan agribisnis berbasis sumberdaya lokal dalam mendukung pengembangan
ekonomi kawasan selatan Jawa. Malang: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Timur.
Casas, A., & Barbera, G. (2002). Mosoamerican Domestication
and Diffusion. In P. S. Nobel, Cacti Biology and Uses (pp. 143-162).
California, USA: University of California Press.
Dariah, A., Abdurachman, A., & Subardja, D. (2010). Reklamasi
Lahan Eks-Penambangan Untuk Perluasan Areal Pertanian. Jurnal Sumberdaya Lahan,
1-12.
Erfandi, D. (2017). Pengelolaan Lansekap Lahan Bekas Tambang:
Pemulihan Lahan dengan Pemanfaatan Suberdaya Lokal (In-Situ). Jurnal Sumberdaya
Lahan Vol. 11 No. 2 , 55-66.
Ernawanto, D. Q., & Sudaryono, T. (2016). Rehabilitasi Lahan
Marginal dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Konservasi Air. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian, 403-409.
ESDM. (2012). Keputusan Menteri ESDM: Penetapan Kawasan Bentang
Alam Karst. Jakarta: ESDM.
Gunadi, S. (2002). Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Kawasan
Pesisir. Teknologi Lingkungan, 232-236.
Hardjowigeno, S., & Widjatmaka. (2007). Kesesuaian lahan dan
perencanaan tataguna lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Hermawan, B. (2002). Buku Ajar Dasar-dasar Fisika Tanah. Bengkulu:
Lemlit Unib Press.
Hermawan, B. (2011). Peningkatan Kualitas Lahan Bekas Tambang
melalui Revegetasi dan Kesesuaiannya Sebagai Lahan Pertanian Tanaman Pangan.
Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian (pp. 60-70). Bengkulu:
Universitas Bengkulu.
Hidayat, & Mulyani. (2002). . Lahan Kering untuk pertanian
dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Jakarta: Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Idjudin, A. A., & Marwanto, S. (2008). Reformasi Pengelolaan
Lahan Kering untuk Mendukung Swasembada Pangan. Jurnal Sumberdaya Lahan.,
115-125.
Irawan, B., & Pranadji, T. (2002). Pemberdayaan lahan kering
untuk pengembangan agribisnis berkelanjutan. FAE Volume 20 no 2.
Jaya, I. D. (2010). Morphology and Physiology of Pitaya and it
Future Prospects in Indonesia. Crop Agro Vol. 3 No. 1, 44-50.
Jupri. (2012, March 8). Lahan. Bandung, Jawa Barat, Indonesia:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Kang, S. &. (2013). Marginal Lands: Concept, Assessment and
Management. Journal of Agricultural Science. 5.
Lakitan, B., & Gofar, N. (2013). Kebijakan inovasi teknologi
untuk pengelolaan lahan suboptimal berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional
Lahan Suboptimal , 21-22.
Lap, L., & Chau, N. (2014). Increasing market acces for
selected tropical fruits through value chain improvements in Vietnam.
Increasing Production and Market Acces for Tropical Fruit in Southeast Asia
(pp. 35-58). Vietnam: Southern Horticultural Research Institute (SOFRI).
Liu, P., Tsai, S., & Yen, C. (2015). Pitaya breeding
strategies for improving commercial potential in Taiwan. Improving pitaya
production and marketing (pp. 65-72). Taiwan: International workshop
proceedings.
Luders, L., & Mahon, G. (2006). The pitaya or dragon fruit
(Hylocereus undatus). Agnote No. D42. Northern Territory Government.
Minardi, S. (2009). Optimalisasi pengelolaan lahan kering untuk
pengembangan pertanian tanaman pangan. Solo: Universitas Sebelas Maret.
Najiyati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. (2005).
Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Bogor: Wetlands
International.
Nerd, A., Tel Zur, N., & Mizrahi, Y. (2002). Fruits of Vine
and Columnar Cacti. In P. S. Nobel, Cacti Biology and Uses (pp. 185-197).
California, USA: University of California Press.
Noor, M., Masganti, & Agus, F. (2016). Pembentukan dan
Karakteristik Gambut Tropika Indonesia. In F. Agus, M. Anda, A. Jamil, &
Masganti, Dalam: Lahan Gambut Indonesia Pembentukan, Karakteristik, dan Potensi
Mendukung Ketahanan Pangan. (pp. 7-32). Jakarta: IAARD Press.
Patiung, O., Sinukaban, N., Targian, S. D., & Darusman, D.
(2011). Pengaruh Umur Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batubara Terhadap Fungsi
Hidrologis. Jurnal Hidrolitan, Vol 2, 60-73.
Pohan, M. P., Denni, W., Sabtanto, J. S., & Asep, A. (2007).
Penyelidikan Potensi Bahan Galian Pada Tailing PT Freeport Indonesia Di
Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Proceeding Pemaparan Hasil Kegiatan Lapangan
Dan Non Lapangan Tahun 2007. Mimika: Pusat Sumber Daya Geologi.
Setyowati, R., Amala, N. A., & Aini, N. (2017). Studi
pemilihan tanaman revegetasi untuk keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang.
Al-Ard: Jurnal Teknik Lingkungan Vol.3 No.1.
Subagyono, K., Haryati, U., & Tala'ohu, S. H. (2004).
Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. Dalam: Kurnia, U., A.
Rachman & A. Dariah (Eds.). Teknologi konservasi tanah pada lahan kering
berlereng. Puslitbang Tanah dan Agroklimat, Badan Litbangtan, 151-188.
Sukarman, I. G., & Ritung, S. (2012). Pangan, Identifikasi Lahan
Kering Potensial untuk Pengembangan Tanaman. In B. P. Pertanian, Prospek
Pertanian Lahan Kering Dalam Mendukung Ketahanan Pangan (pp. 316-328). Jakarta:
IAARD PRESS.
Sutedjo, M. M. (2002). Pupuk dan Cara Pemupukan. Jakarta: PT
Rhineka Cipta.
Tufaila, M., Alam, S., & Leomo, S. (2014). Strategi
Pengelolaan Tanah Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan.
Kendari: Unhalu Press.
Widnyana, I. K. (2011). Upaya Meningkatkan Potensi Kesuburan Tanah
Lahan Marginal di Kawasan Bali Timur melalui Bioteknologi Biofertilisasi Antara
Mikoriza dengan Pupuk Kandang dan Kascing. . Agrimeta, 1-12.
Yuwono,
N. W. (2009). Membangun Kesuburan Tanah di Lahan Marginal. Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan Vol. 9 No. 2, 137-141
Editor: Amir Sartono Published: Friday, 03 June 2022
You're in the right place! Just drop us your cv. How can we help?